Minggu 13 Nona Capung

Kamisan S3 #13: Lelaki dan Jendela

17.06Unknown

Saat pertama kali datang, tak ada hal lain yang ingin aku lihat selain jendela kamar ini. Kau tahu, Kina? Aku bahkan tak menghiraukan para pekerja yang menurunkan barang-barangku dan bertanya ingin diletakkan di mana kardus-kardus itu. Aku sama sekali tak peduli, toh barang bawaanku tak banyak. Mereka bisa meletakannya di mana saja. Rumah ini luas. Terlalu luas, bahkan, untuk kutinggali seorang diri.

Apa kau bertanya rumah yang mana?

Itu, rumah besar berlantai dua di arah pukul sembilan jika dilihat dari depan halaman rumahmu. Rumah besar yang sama sekali tidak cocok dengan bangun-bangunan lain di sekitarnya. Terasing dan sunyi. Juga seringkali dibilang angker. Yang membuatku akhirnya memutuskan membelinya adalah jendela besar ini.

Seperti umumnya rumah-rumah tua peninggalan Belanda, melalui jendela besar inilah aku bisa leluasa memperhatikanmu di seberang. Aku akan duduk pagi-pagi sekali. Ketika udara masih dingin (aku keluar dengan memeluk selimut). Satu lampu di rumahmu sudah menyala. Dapur. Kau pasti sedang sibuk membuat sarapan ketika itu. Aku sungguh mengangumimu Kina. Betapa pagi kau bangun untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk lelaki itu. Tentu saja aku iri. Aku bisa saja memilikimu tetapi aku tidak bisa membuatmu menderita dengan memaksamu bersamaku. Meski, akulah yang pertama kali menemukanmu. Tidak. Maka beginilah caraku mencintaimu.

Setelah memastikan kau bangun. Aku akan pergi sebentar dari jendela. Menyeduh kopi dan menyantap dua keping roti tawar dengan mentega dan gula tanpa dipanggang terlebih dahulu sebagai sarapanku. Aku memakannya dengan perlahan. Seperlahan matahari yang muncul di kaki langit. Dari lantai dua seperti itu matahari begitu indah. Andai saja kau punya waktu sedikit melihatnya tetapi tidak, kau terlalu sibuk. Dan itulah yang kau selalu lakukan, mengantar suami berangkat bekerja hingga ke pintu, memeluknya sebentar lalu mencium tangannya dengan hikmat. Saat itu, senyummu memang jauh lebih indah dari matahari pagi.

Saat kau masuk kembali ke rumahmu aku pun menutup jendelaku. Begitulah aku memulai hidup setiap hari.

Aku akan kembali ke meja kerja yang kutinggalkan semalam. Kembali berkutat dengan berita-berita yang harus kuedit sebelum kukirimkan kembali ke kantor. Selalu seperti itu.

Pernah suatu hari ketika kau–masih dengan celemek–mengantar suamimu hingga ke depan pintu seperti biasanya. Aku bertanya-tanya sendiri apakah kau tak bosan terus melakukan itu? Apakah matamu yang penuh binar itu suatu hari akan redup dan kau tak lagi mengantar suamimu seperti sekarang ini melainkan lebih memilih kabur dengan seorang tetangga kiri rumahmu yang hampir setiap hari meminjam apa saja saat suamimu tak ada di rumah. Mungkinkah Kana? Cinta yang membuatmu menolakku itu suatu hari hilang begitu saja tanpa sisa?

Kurasa memang tidak. Tentu saja itu tidak terlihat seperti dirimu (kau bisa membayangkan aku tersenyum Kina. Karena aku memang tersenyum saat mengatakan itu). Mungkin karena itulah aku jatuh cinta padamu. Dan seperti aku yang masih begitu mencintaimu sampai saat ini, maka cinta yang memantul di iris matamu itu pastilah tak akan kalah oleh waktu.

Kau akan punya waktu untuk melahirkan anak-anakmu. Melihat mereka tumbuh. Mengantarkan mereka hingga pintu depan ketika pagi, suami berangkat ke kantornya dan anakmu pergi ke sekolahnya. Aku masih akan melihatmu dari jendela besar ini. Melihat lamput dapurmu menyala setiap pagi. Mendengar renyah tawa kau dan anak-anakmu saat kalian bermain di halaman belakang rumah. Anak-anakmu sedang menyerangmu dengan pistol air. Kau bersembunyi di antara pepohonan tetapi dengan cerdik, kedua anak kembarmu menemukanmu. Anak sulungmu membidik rokmu. Sementara si Kecil membidik wajahmu. Sekujur tubuhmu basah tetapi kau–kalian–tertawa bahagia. 

Meski sibuk sebagai ibu dan seorang istri, kau masih tetap Kina yang dulu. Ketika anak dan suamimu telah lelap tertidur, kau akan kembali ke dapur, menyalakan lampunya dan mulai berjalan mondar-mandir sambil membaca sebuah buku misteri. Kau tentunya masih menyukai Nancy Drew kan, Kina? Detektif perempuan yang cantik dan cerdas itu. Kau akan larut dengan bacaanmu. Teh yang kau seduh selalu lebih dulu menjadi dingin sebelum akhirnya kau minum.

Sementara di jendela besar itu, aku menyesap kopiku. Mataku hanya sekali-sekali lepas dari gerakanmu. Meski yang terlihat hanyalah siluet hitam dari balik tirai.

Hari-hari akan berlalu dengan damai. Aku berharap bisa menyaksikan semua itu, Kina. Aku sungguh berharap, dari jendela besar ini aku melihat iris matamu yang berbinar dan bukannya hanya memandang potretmu seperti sekarang ini.


070815
19:44

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak