Saat pertama kali datang, tak ada hal lain yang ingin aku lihat
selain jendela kamar ini. Kau tahu, Kina? Aku bahkan tak menghiraukan
para pekerja yang menurunkan barang-barangku dan bertanya ingin
diletakkan di mana kardus-kardus itu. Aku sama sekali tak peduli, toh
barang bawaanku tak banyak. Mereka bisa meletakannya di mana saja. Rumah
ini luas. Terlalu luas, bahkan, untuk kutinggali seorang diri.
Apa kau bertanya rumah yang mana?
Itu, rumah besar berlantai dua di arah pukul sembilan jika dilihat
dari depan halaman rumahmu. Rumah besar yang sama sekali tidak cocok
dengan bangun-bangunan lain di sekitarnya. Terasing dan sunyi. Juga
seringkali dibilang angker. Yang membuatku akhirnya memutuskan
membelinya adalah jendela besar ini.
Seperti umumnya rumah-rumah tua peninggalan Belanda, melalui jendela
besar inilah aku bisa leluasa memperhatikanmu di seberang. Aku akan
duduk pagi-pagi sekali. Ketika udara masih dingin (aku keluar dengan
memeluk selimut). Satu lampu di rumahmu sudah menyala. Dapur. Kau pasti
sedang sibuk membuat sarapan ketika itu. Aku sungguh mengangumimu Kina.
Betapa pagi kau bangun untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk lelaki
itu. Tentu saja aku iri. Aku bisa saja memilikimu tetapi aku tidak bisa
membuatmu menderita dengan memaksamu bersamaku. Meski, akulah yang pertama kali menemukanmu. Tidak. Maka beginilah caraku mencintaimu.
Setelah memastikan kau bangun. Aku akan pergi sebentar dari jendela.
Menyeduh kopi dan menyantap dua keping roti tawar dengan mentega dan
gula tanpa dipanggang terlebih dahulu sebagai sarapanku. Aku memakannya
dengan perlahan. Seperlahan matahari yang muncul di kaki langit. Dari
lantai dua seperti itu matahari begitu indah. Andai saja kau punya waktu
sedikit melihatnya tetapi tidak, kau terlalu sibuk. Dan itulah yang kau
selalu lakukan, mengantar suami berangkat bekerja hingga ke pintu,
memeluknya sebentar lalu mencium tangannya dengan hikmat. Saat itu,
senyummu memang jauh lebih indah dari matahari pagi.
Saat kau masuk kembali ke rumahmu aku pun menutup jendelaku. Begitulah aku memulai hidup setiap hari.
Aku akan kembali ke meja kerja yang kutinggalkan semalam. Kembali
berkutat dengan berita-berita yang harus kuedit sebelum kukirimkan
kembali ke kantor. Selalu seperti itu.
Pernah suatu hari ketika kau–masih dengan celemek–mengantar suamimu
hingga ke depan pintu seperti biasanya. Aku bertanya-tanya sendiri
apakah kau tak bosan terus melakukan itu? Apakah matamu yang penuh binar
itu suatu hari akan redup dan kau tak lagi mengantar suamimu seperti
sekarang ini melainkan lebih memilih kabur dengan seorang tetangga kiri
rumahmu yang hampir setiap hari meminjam apa saja saat suamimu tak ada
di rumah. Mungkinkah Kana? Cinta yang membuatmu menolakku itu suatu hari
hilang begitu saja tanpa sisa?
Kurasa memang tidak. Tentu saja itu tidak terlihat seperti dirimu
(kau bisa membayangkan aku tersenyum Kina. Karena aku memang tersenyum
saat mengatakan itu). Mungkin karena itulah aku jatuh cinta padamu. Dan
seperti aku yang masih begitu mencintaimu sampai saat ini, maka cinta
yang memantul di iris matamu itu pastilah tak akan kalah oleh waktu.
Kau akan punya waktu untuk melahirkan anak-anakmu. Melihat mereka
tumbuh. Mengantarkan mereka hingga pintu depan ketika pagi, suami
berangkat ke kantornya dan anakmu pergi ke sekolahnya. Aku masih akan
melihatmu dari jendela besar ini. Melihat lamput dapurmu menyala setiap
pagi. Mendengar renyah tawa kau dan anak-anakmu saat kalian bermain di
halaman belakang rumah. Anak-anakmu sedang menyerangmu dengan pistol
air. Kau bersembunyi di antara pepohonan tetapi dengan cerdik, kedua
anak kembarmu menemukanmu. Anak sulungmu membidik rokmu. Sementara si
Kecil membidik wajahmu. Sekujur tubuhmu basah tetapi kau–kalian–tertawa
bahagia.
Meski sibuk sebagai ibu dan seorang istri, kau masih tetap Kina yang
dulu. Ketika anak dan suamimu telah lelap tertidur, kau akan kembali ke
dapur, menyalakan lampunya dan mulai berjalan mondar-mandir sambil
membaca sebuah buku misteri. Kau tentunya masih menyukai Nancy Drew kan,
Kina? Detektif perempuan yang cantik dan cerdas itu. Kau akan larut
dengan bacaanmu. Teh yang kau seduh selalu lebih dulu menjadi dingin
sebelum akhirnya kau minum.
Sementara di jendela besar itu, aku menyesap kopiku. Mataku hanya
sekali-sekali lepas dari gerakanmu. Meski yang terlihat hanyalah siluet
hitam dari balik tirai.
Hari-hari akan berlalu dengan damai. Aku berharap bisa menyaksikan
semua itu, Kina. Aku sungguh berharap, dari jendela besar ini aku
melihat iris matamu yang berbinar dan bukannya hanya memandang potretmu
seperti sekarang ini.
070815
19:44
0 comments