Kamisan S3 #14: Mang Suhib dan Cat Rumahnya
17.08Unknown
Warna menyimpan banyak makna. Ada yang
bilang bahwa cara manusia memilih warna menunjukkan tentang bagaimana
cara mereka bersikap. Dulu, kupikir kalimat itu hanyalah klise belaka.
Aku tak yakin warna menjadi begitu penting dalam hidup manusia. Namun,
anggapanku kemudian berubah setelah mengenal sosok Mang Suhib. Ia adalah
seorang lelaki yang sehari-hari berkutat dengan warna. Ya, maksudku,
dia adalah tukang cat. Hmm. Tapi kupikir, panggilan tukang cat kurang
pas untuk dilekatkan pada Mang Suhib. Sebab, menurutku dia bukan sekedar
mengecat asal mengecat, lebih dari itu. Dia peracik warna, atau mungkin
juga bisa disebut sebagai pelukis tanpa kanvas. Dia sungguh piawai
ketika meracik warna-warna cat. Instingnya dalam mecampurkan warna a dan
warna b, misalnya, begitu pas. Ia begitu paham soal takaran, antara
cairan cat dan tinner. Ia adalah peracik warna yang handal. Dan tentu,
hasil garapannya sungguh sangat memuaskan. Dinding atau kayu yang telah
dicat olehnya, terlihat sangat indah. Warna cat itu, seperti memiliki
aura yang istimewa. Berbeda dengan tukang cat kebanyakan, alih-alih
menjadi indah, terkadang hasil garapan mereka terlihat belang-belang dan
bahkan tak merata warnanya. Oleh sebab itu, tak sedikit orang di
sekitar rumahku yang berebut jasa Mang Suhib, tak terkecuali ayahku
sendiri. Hasil garapannya tak pernah mengecewakan.
Pernah suatu
ketika aku melihatnya sedang mengecat dinding gedung futsal yang
letaknya tak jauh dari rumahku. Caranya mengecat dinding itu menunjukkan
bahwa ia tukang cat yang paham akan detail. Dia mengecat dengan posisi
tubuh yang unik, dengan posisi yang agak menungging, ia menyapukan kuas
catnya dengan sangat hati-hati. Aku hanya melihatnya dari bawah,
sedangkan ia sedang berdiri di papan yang menggantung. Aku menunggunya
hingga ia menuntaskan pekerjaannya. Dan seperti biasa, hasil garapannya
selalu memancarkan aura yang istimewa. Meneduhkan layaknya rindang pohon
yang lebat. Setelah pekerjaannya tuntas, ia turun dan menyapaku. Inilah
untuk pertama kalinya aku bercakap-cakap dengannya. Dan seperti
dugaanku, dia begitu ramah. Setelah ngalor-ngidul membicarakan hal-hal
yang tak penting, aku menanyakan tentang niatnya pulang kampung di hari
lebaran nanti. Dia menceritakan rencananya itu, dia ingin lebaran di
kampungnya, sembari menziarahi makam istri dan anak perempuannya. Inilah
yang baru aku ketahui dari Mang Suhib. Ternyata ia adalah sebatang
kara. Istrinya meninggal ketika melahirkan anaknya. Dan anaknya
meninggal lima tahun kemudian karena sebuah kecelakaan. Ia hanya
sebatang kara, namun aku tak pernah melihat sebersit pun kesan murung di
wajahnya. Mang Suhib selalu tersenyum.
Beberapa hari menjelang
lebaran, aku sudah meniatkan untuk ikut Mang Suhib pulang kampung.
Ayahku menyuruhku untuk mengongkosinya dan memberinya beberapa peser
uang. Kami menganggap bahwa inilah saatnya kami menyatuni Mang Suhib
yang telah membuat penampilan rumah kami menjadi lebih indah.
***
Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam dalam bus, kami berjalan untuk menempuh jarak sepanjang dua kilometer. Lima belas menit setelah berjalan, kami sampai. Untuk beberapa saat aku cukup tercengang melihat rumah Mang Suhib. Aku melihat rumahnya sungguh sederhana. Hanya sebuah rumah sederhana yang ku taksir tergolong ke dalam rumah tipe 34 dengan atap asbes. Dan yang paling membuatku terpukau adalah, semua bagian rumah ini bercat warna putih. Mulai dari dinding, pintu dan kusen. Ketika aku masuk ke dalam, ternyata bagian dalamnya juga bercat warna putih. Begitu sederhana. Tetap terlihat indah meskipun tak banyak perabot yang ada di dalamnya. Aku duduk di sebuah kursi kayu, yang lagi-lagi berwarna putih. Mang Suhib meletakkan barang-barangnya dan langsung menuju dapur.
“Mas Olih mau minum apa? Kopi atau teh?”
“Wah, saya tidak ngopi dan ngeteh, Mang.”
“Kalau susu?”
“Boleh, Mang.” Aku menjawab pertanyaan sembari menanggukkan dagu.
“Untug
tadi pas di jalan tadi saya beli susu kaleng. Saya sudah mengira kalau
selera Mas Olih ini minumnya susu. Bukan kopi dan bukan teh. Soalnya Mas
Olih ini tinggi dan putih kayak susu.”
Perkataan Mang Suhib itu menyanjungku. Dan itu memang tabiatnya, selalu membuat orang tersanjung.
“Ah,
Mang ini bisa saja. Hahaha. Oiya, ngomong-ngomong, untuk mengecat
seluruh bagian rumah ini, Mang Suhib menghabiskan berapa kaleng cat?”
“Itu bukan cat kok, Mas.”
“Lho, terus warna putih ini dari apa, Mang?”
“Dari kapur.”
“Wah, tapi kok bisa indah begini ya, halus seperti cat. Kenapa nggak pake cat sekalian, Mang? Mang Suhib kan tukang cat.”
“Kapur
masih tergolong lebih murah ketimbang cat, Mas. Toh, yang penting kan
warnanya sama-sama putih dan indah. Saya ini suka yang sederhana dan
murah saja, atau bahkan gratis. Soalnya, harga cat sekarang mahal mas.
Merknya juga makin beraneka ragam. Mereka saling bersaing soal kualitas,
dan itulah yang membuat harga cat kian mahal. Jadi, yah, mending pake
kapur yang bisa saya dapatkan secara cuma-cuma dari daerah bukit
belakang.”
Mang Suhib berbicara sembari mengaduk susu putih
yang sudah ada meja kayu di depanku. Aku terpukau untuk beberapa saat
memandangi sekeliling bagian rumah ini. Aku tak percaya, ternyata
keindahan ruangan ini hanya karena polesan kapur yang dicairkan itu.
“Silahkan mas diminum susunya.”
“Enggak ditambahin tinner kan? Hahaha.” Kataku sedikit berkelakar.
“Hahahaha. Ya enggaklah. Mentang-mentang saya ini tukang cat. Apa-apa ditambahi tinner.”
Aku menenggak susu buatan Mang Suhib hingga beberapa tegukan. Sejenak aku pun berpikir:
Ternyata, keindahan bisa berasal dari kesederhanaan seperti ini. Sungguh, aku mulai mengenal siapa sebenarnya Mang Suhib.
0 comments