Petaka ini bermula dari hari itu. Hari Selasa yang
biasa-biasa saja awalnya. Hari Selasa yang masih hangat terselimuti oleh
dekapan sinar matahari. Hari yang baru memulai geliatnya, dan yang akan
berjalan demikian lambat.
Patricia bangun dengan satu perasaan yang tidak
dapat ia ingat. Satu perasaan yang mampu menampung berjuta partikel kemungkinan
rasa. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat membuatnya tersenyum, menangis, atau
marah. Pagi itu, rasa yang paling besar ia rasakan adalah rasa yang selalu
membuatnya ingin tersenyum. Rasa
yang terus menggelitik dirinya untuk terus mengeluarkan hormon endorfin dari
dirinya.
Mematut dirinya di depan cermin, ia seperti
tersihir dengan pesona dirinya sendiri. Merasa cantik dengan wajah tanpa
pulasan, ia menjadikannya abadi dengan kamera ponselnya. Tidak puas hanya
dirinya yang melihat, ia posting gambar
dirinya ke akun Instagramnya.
Beberapa komentar mengalir. Ada komentar “nakal”, banyak bernada pujian. Tak
satu pun ia ladeni. Ia tidak mau terseret dalam arus komentar tak berujung.
Ia memulai harinya. Olahraga dan meditasi sesaat.
Menyantap sarapannya dan menyiapkan semua keperluannya. Ketika kucuran
air hangat membasuh rambut dan tubuhya, ponselnya berbunyi. Mulai dari nada
pesan pendek hingga dering telepon. Semuanya berakhir tanpa jawab. Ia mematikan
pancuran dan tengah membungkus rambutnya dengan handuk ketika ia mendengar
dering teleponnya, entah untuk yang keberapa kali.
Seketika
wajahnya memucat, membaca nama penelepon yang tertera di layar. Ia menyadari
sesuatu yang sedari tadi ia lupa.
“Halo,” sapanya
dengan nada bergetar.
“Kamu tahu ini jam berapa?!” Kalimat yang tidak
bernada tanya sama sekali terdengar dari ujung telepon.
“Maaf, Pak, saya
segera ke sana.” Patricia menutup teleponnya dan melemparnya ke kasur. Ia
sungguh lupa akan pertemuan dengan kliennya hari ini. Karenanya, klien yang
bernilai ratusan juta bagi perusahaan iklan tempat ia bekerja, harus menunggu. Secepat kilat ia bersiap. Mengenakan
pakaian, merias wajahnya, ia lakukan dengan terburu. Ponselnya berdering
lagi. Sekilas ia membaca nomor yang tertera di layar. Tidak ia kenal. Tidak ingin berspekulasi dengan
waktu, ia abaikan telepon tersebut.
Dengan memburu ia pacu mobilnya. Dalam hatinya ia
berdoa agar celaka jauh darinya. Pikirannya terus berkecamuk tentang
kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi akibat kelalaiannya.
Sekali lagi ponselnya berdering. Nomor yang tak ia kenal lagi. Dirinya mulai
bertanya-tanya siapa kiranya yang menghubunginya. Tapi, ia begitu terfokus
dengan perjalanannya. Ia tidak mengacuhkan panggilan teleponnya.
Pertemuan dengan klien berakhir baik. Terjadi
kesepakatan yang diharapkan. Sekalipun demikian, permintaan maaf tidak henti
keluar dari mulutnya. Dan, ia harus terus menghadapi sikap tidak menyenangkan
dari atasannya. Patricia berusaha mengabaikan segala hal yang tidak
menyenangkan hari itu. Waktu yang terasa begitu lambat ia lewati dengan
mengerjakan pekerjaannya hingga ia larut dalamnya. Pukul 20.10 ketika ia
mematikan lampu ruangannya. Dengan gontai ia melangkah ke pelataran parkir.
Dan, puncak petaka itu mulai membentuk.
Patricia menyadari ia tidak melangkah sendiri. Ada
langkah-langkah lain yang mengikutinya. Ia berhenti, langkah-langkah itu
berhenti. Ia mempercepat langkahnya, langkah-langkah di belakang terdengar
lebih cepat. Hanya lima meter sebelum ia meraih pintu depan mobil,
langkah-langkah dibelakangnya mewujud menjadi dua orang laki-laki yang
menyekapnya dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil yang terburu datang.
“Sudah saya
katakan nama saya Patricia. Bapak bisa lihat tanda pengenal saya. Saya tidak
ada hubungannya dengan segala bentuk kriminalitas yang tadi Bapak paparkan!”
Patricia geram dirinya dituduh terkait dengan kejahatan-kejahatan yang
dituduhkan padanya.
“Nama bisa saja
Anda ubah! Tanda pengenal Anda boleh mengatakan kalau Anda bernama Patricia. Tapi
Anda juga adalah Vianca, alias Triana, alias Betty, alias ….”
“Nama saya
Patricia! Saya bukan nama-nama lain yang tadi Anda sebutkan!” Patricia tidak
dapat menahan dirinya. Ia benar-benar geram. “Anda tidak punya bukti apa pun!
Saya lelah, saya tidak bersedi memberi keterangan apa pun lagi tanpa pengacara
saya!” Seorang laki-laki tergopoh masuk ke ruangan. Pengacara Patricia mengambil
alih.
“Patricia, apa
ini kamu?” tanya pengacara menunjuk beberapa foto yang diperlihatkan oleh
penyidik. Ia tampak sedikit bingung. Patricia pun menunjukkan kebingungan. Ia
tidak menyembunyikan rasa terkejutnya. Wajah-wajah dalam foto-foto yang ditunjukkan benar-benar mirip dengan
dirinya. Tapi ia tahu itu bukan dirinya. “Patricia?” Patricia menggeleng.
“Ini bukan saya.
Semua foto-foto ini bukan saya. Sekalipun
mirip sekali. Ini bukan foto-foto saya.” Penyidik kemudian menunjukkan sebuah
foto yang ia kenali sebagai dirinya. Foto yang ia buat pagi ini dengan
ponselnya. Penyidikan terus dilanjutkan hingga larut. Hingga selesai. Dan, dengan
berbagai bukti dan alibi, Patricia terbukti bukan orang dengan kriminalitas
yang sempat dituduhkan padanya. Ia tidak menyangka, di luar kehidupannya ada
orang yang demikian mirip dengannya dan foto selfie yang ia lakukan pagi tadi menyeretnya dalam kehidupan orang
itu.
Yola M. Caecenary
Kamisan #13 Session 3 : Gara-gara Selfie / Doppelganger - Deadline : 23 Juli 2015 (extension)
0 comments