Minggu 13

Kamisan S3 #13: Gara-gara Selfie/Doppelganger

17.01Unknown

Petaka ini bermula dari hari itu. Hari Selasa yang biasa-biasa saja awalnya. Hari Selasa yang masih hangat terselimuti oleh dekapan sinar matahari. Hari yang baru memulai geliatnya, dan yang akan berjalan demikian lambat.

Patricia bangun dengan satu perasaan yang tidak dapat ia ingat. Satu perasaan yang mampu menampung berjuta partikel kemungkinan rasa. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat membuatnya tersenyum, menangis, atau marah. Pagi itu, rasa yang paling besar ia rasakan adalah rasa yang selalu membuatnya ingin tersenyum. Rasa yang terus menggelitik dirinya untuk terus mengeluarkan hormon endorfin dari dirinya.

Mematut dirinya di depan cermin, ia seperti tersihir dengan pesona dirinya sendiri. Merasa cantik dengan wajah tanpa pulasan, ia menjadikannya abadi dengan kamera ponselnya. Tidak puas hanya dirinya yang melihat, ia posting gambar dirinya ke akun Instagramnya. Beberapa komentar mengalir. Ada komentar “nakal”, banyak bernada pujian. Tak satu pun ia ladeni. Ia tidak mau terseret dalam arus komentar tak berujung.

Ia memulai harinya. Olahraga dan meditasi sesaat. Menyantap sarapannya dan menyiapkan semua keperluannya. Ketika kucuran air hangat membasuh rambut dan tubuhya, ponselnya berbunyi. Mulai dari nada pesan pendek hingga dering telepon. Semuanya berakhir tanpa jawab. Ia mematikan pancuran dan tengah membungkus rambutnya dengan handuk ketika ia mendengar dering teleponnya, entah untuk yang keberapa kali.

Seketika wajahnya memucat, membaca nama penelepon yang tertera di layar. Ia menyadari sesuatu yang sedari tadi ia lupa.

“Halo,” sapanya dengan nada bergetar.
“Kamu tahu ini jam berapa?!” Kalimat yang tidak bernada tanya sama sekali terdengar dari ujung telepon.
“Maaf, Pak, saya segera ke sana.” Patricia menutup teleponnya dan melemparnya ke kasur. Ia sungguh lupa akan pertemuan dengan kliennya hari ini. Karenanya, klien yang bernilai ratusan juta bagi perusahaan iklan tempat ia bekerja, harus menunggu. Secepat kilat ia bersiap. Mengenakan pakaian, merias wajahnya, ia lakukan dengan terburu. Ponselnya berdering lagi. Sekilas ia membaca nomor yang tertera di layar. Tidak ia kenal. Tidak ingin berspekulasi dengan waktu, ia abaikan telepon tersebut.

Dengan memburu ia pacu mobilnya. Dalam hatinya ia berdoa agar celaka jauh darinya. Pikirannya terus berkecamuk tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi akibat kelalaiannya. Sekali lagi ponselnya berdering. Nomor yang tak ia kenal lagi. Dirinya mulai bertanya-tanya siapa kiranya yang menghubunginya. Tapi, ia begitu terfokus dengan perjalanannya. Ia tidak mengacuhkan panggilan teleponnya.
Pertemuan dengan klien berakhir baik. Terjadi kesepakatan yang diharapkan. Sekalipun demikian, permintaan maaf tidak henti keluar dari mulutnya. Dan, ia harus terus menghadapi sikap tidak menyenangkan dari atasannya. Patricia berusaha mengabaikan segala hal yang tidak menyenangkan hari itu. Waktu yang terasa begitu lambat ia lewati dengan mengerjakan pekerjaannya hingga ia larut dalamnya. Pukul 20.10 ketika ia mematikan lampu ruangannya. Dengan gontai ia melangkah ke pelataran parkir. Dan, puncak petaka itu mulai membentuk.

Patricia menyadari ia tidak melangkah sendiri. Ada langkah-langkah lain yang mengikutinya. Ia berhenti, langkah-langkah itu berhenti. Ia mempercepat langkahnya, langkah-langkah di belakang terdengar lebih cepat. Hanya lima meter sebelum ia meraih pintu depan mobil, langkah-langkah dibelakangnya mewujud menjadi dua orang laki-laki yang menyekapnya dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil yang terburu datang.

“Sudah saya katakan nama saya Patricia. Bapak bisa lihat tanda pengenal saya. Saya tidak ada hubungannya dengan segala bentuk kriminalitas yang tadi Bapak paparkan!” Patricia geram dirinya dituduh terkait dengan kejahatan-kejahatan yang dituduhkan padanya.

“Nama bisa saja Anda ubah! Tanda pengenal Anda boleh mengatakan kalau Anda bernama Patricia. Tapi Anda juga adalah Vianca, alias Triana, alias Betty, alias ….”
“Nama saya Patricia! Saya bukan nama-nama lain yang tadi Anda sebutkan!” Patricia tidak dapat menahan dirinya. Ia benar-benar geram. “Anda tidak punya bukti apa pun! Saya lelah, saya tidak bersedi memberi keterangan apa pun lagi tanpa pengacara saya!” Seorang laki-laki tergopoh masuk ke ruangan. Pengacara Patricia mengambil alih.

“Patricia, apa ini kamu?” tanya pengacara menunjuk beberapa foto yang diperlihatkan oleh penyidik. Ia tampak sedikit bingung. Patricia pun menunjukkan kebingungan. Ia tidak menyembunyikan rasa terkejutnya. Wajah-wajah dalam foto-foto yang ditunjukkan benar-benar mirip dengan dirinya. Tapi ia tahu itu bukan dirinya. “Patricia?” Patricia menggeleng.
“Ini bukan saya. Semua foto-foto ini bukan saya. Sekalipun mirip sekali. Ini bukan foto-foto saya.” Penyidik kemudian menunjukkan sebuah foto yang ia kenali sebagai dirinya. Foto yang ia buat pagi ini dengan ponselnya. Penyidikan terus dilanjutkan hingga larut. Hingga selesai. Dan, dengan berbagai bukti dan alibi, Patricia terbukti bukan orang dengan kriminalitas yang sempat dituduhkan padanya. Ia tidak menyangka, di luar kehidupannya ada orang yang demikian mirip dengannya dan foto selfie yang ia lakukan pagi tadi menyeretnya dalam kehidupan orang itu.

***
Yola M. Caecenary
Kamisan #13 Session 3 : Gara-gara Selfie / Doppelganger - Deadline : 23 Juli 2015 (extension)

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak