Minggu 12
Nona Capung
Kamisan S3 #12: Seorang Pria yang Mencoba Mabuk untuk Melupakan Hatinya yang Patah
15.42Unknown
Barangkali kepongahan dan luasnya kota inilah yang menjadikan
orang-orang sepertiku melankolis ketika menatap senja dari ketinggian
salah satu gedung pencakar langit di tengah kota. Semburat senja yang
membuat orang-orang sepertiku tertusuk jarum-jarum sepi kasat mata yang
pengaruhnya laten namun terasa begitu pengap di dada. Ya. Dadaku. Yang
belum lama ini, cinta, yang pernah mengisi seluruh ruang di dalamnya
lenyap entah ke mana. Sialnya, si empunya rasa tak sekalian memindahkan
luka yang membekas di sana. Di dadaku, tempat segala luka bermuara.
Benarkah tak ada luka yang sia-sia?*
Aku turun dari rooftop, berjalan demikian pelan. Dan pertanyaan tadi terus bergaung, memenuhi lorong ketika aku berjalan, memekakkan telinga.
Aku masuk ke sebuah bar. Sekelilingku panen cahaya penuh warna. Musik
menghentak-hentak. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing;
meliukan tubuh, minum, mengobrol atau melakukan ketiganya sekaligus. Di
sana. Di lantai dansa. Aku masuk semakin dalam, lalu duduk di bangku
tinggi tepat di depan bartender. Aku masih memperhatikan orang-orang,
dan aku belum juga memesan apapun sampai si Bartender menegurku agar aku
memesan sesuatu. Kupikir, mungkin ia hanya mau pamer keahliannya saja.
Gin, kataku memesan asal-asalan. Ia bertanya lagi, aku tak
memperhatikannya. Alih-alih aku ingin berteriak, seseorang baru saja
mematahkan hatiku, jadi tolong segera buatkan saja minuman sialan itu!
Tetapi tak jadi. Memangnya kenapa? Memangnya cuma aku yang patah hati di
dunia ini? Siapa pun bisa saja mati hari ini dan patah hati hanyalah
perkara sekadar saja.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Suara seseorang di
sebelahku. Aku menoleh dengan keengganan yang sangat kentara. Cara ini
kelewat klasik, bukan?
“Ya,” kataku. “di kehidupan sebelum sekarang, aku adalah puteri Yoen Woo dan kau adalah Pangerang Yang Myung. Yang Myung sangat menyukai Yoen Woo tetapi mereka tak pernah bersatu, Yang Myung mati dengan tombak menembus tubuhnya**.” Aku menyunggingkan sedikit senyum. Kutebak orang ini pasti menyesal telah memulai basa-basi tadi. Ia mendengus lalu pergi. “Lagi pula,” kataku, hanya untuk membuatnya jengkel. “Yoen Woo menyukai orang lain.” Sekarang, wanita itu memakiku.
Aku tertawa. Melakukan itu tadi terasa menyenangkan. Racikan
minumanku selesai. Bibir gelas dipenuhi buih. Meletup-letup kecil tanpa
bunyi. Ada desakan untuk menyelam ke dalam buih-buih itu lalu lenyap.
Namun tatapan si Bartender membuyarkan keingianku. Ia mungkin lebih
ingin aku menghabiskan gin itu dalam sekali teguk, membayar lalu pergi
sejauh mungkin dari hadapannya.
Tetapi tidak akan. Aku membutuhkan keramaian ini sekarang. Setelah
meneguk sekali. Aku meninggalkan gin itu di meja, lalu berbalik
memunggungi si Bartender yang telah sibuk mengurus orang lain. Mataku
memindai ruangan. Jauh ke langit-langit. Jauh sampai ke sudut. Tempat
ini begitu jujur sekaligus menipu.
Aku memperhatikan wajah orang-orang. Tak ada yang tahu persis alasan
mereka datang ke tempat ini. Jelas bukan untuk mengisi waktu senggang.
Di antara mereka pasti ada juga yang hatinya baru saja dipatahkan.
Seseorang yang berusaha menutupinya dengan apa pun yang bisa ia dapatkan
di sini. Rasa bahagia yang menipu. Keramaian yang menipu. Perasaan
tenang yang menipu. Sementara ruangan ini begitu terbuka menampung
mereka-mereka yang sedang sekarat hatinya. Berpura-pura bisa memberikan
penawar atas rasa sakit yang ada.
Rasanya pasti sakit, tetapi kau cuma perlu untuk tetap semangat, katamu waktu itu yang kali ini kembali terngiang.
Aku tidak ingin mendengar apa-apa sekarang. Maka aku berbalik kepada
si Bartender, menghabiskan gin-ku yang tersisa lalu memintanya lagi.
Lagi. Lagi. Dan lagi.
Beginikah rasanya mabuk? Rasanya seperti berada di antara rasa sakit
dan rasa hangat*. Membuatku ingin tidur untuk mengenyahkan rasa sakit
itu sekaligus dininabobokan oleh perasaan hangat dari alkohol. Aku
dilanda kebingungan yang amat sangat bagaimana aku akan mengakhiri semua
ini.
Haruskah aku jatuh tertidur di sini demi menahan rasa sakit? Ataukah,
harus kubiarkan saja rasa sakit ini memerangkapku beberapa saat. Sampai
dengan keinginannya sendiri dia pergi. Aku hanya perlu menunggu,
biasasaja, seperti menunggu hujan reda pada musimnya. Karena pada
waktunya bukankah hujan akan berhenti juga? Rasa sakitku, pada waktunya
pasti akan hilang juga.
Akan ada hari, ketika aku bangun dari tidur rasa sakit itu enyah
entah ke mana. Dan perasaanku hanya akan dipenuhi perasaan hangat meski
di luar hujan.
Meski di luar hujan.
________
10715/21:27Ket:
** dari film The Moon That Embrace The Sun
* dikutip bebas dari novel The Gathering Annie Anright--kalau tidak salah
0 comments