Sebuah taksi
berwarna emas akhirnya berhenti di depan gedung perkantoran tempat Rumi
menunggu selama kurang lebih 15 menit, setelah Rumi melambaikan tangan
pertanda ia sedang butuh armada taksi tersebut. Ketika taksi tepat di depan
muka Rumi, tiba-tiba sebuah tangan kokoh turut memegang handle pintu taksi seolah berebut dengan Rumi dan membuat sang
pemilik tangan terbatuk kecil.
“Loh Pak, kan
saya duluan yang ngeberhentiin taksinya.”
“Maaf Mbak,
sepertinya saya lebih dulu.”
Mereka berdua
berebut masuk ke dalam taksi hingga Rumi menunjukkan wajah manyun dan
kemerahan, akibat menahan sebal.
“Ya
sudah
begini, daripada Mbak dan saya ribut gini dan seperti Mbak tahu ini lagi
macet banget, tidak mungkin ada armada taksi yang sebagus ini lagi yang
akan lewat,
gimana kalau kita join aja. Mbak juga sepertinya buru-buru seperi saya
kan?”
Setelah berfikir
ke sana kemari, akhirnya Rumi memutuskan untuk masuk dan mendiskusikan tujuan
pemberhentiannya dengan lelaki yang menurutnya menyebalkan ini di dalam taksi. Setelahnya waktu
berjalan beberapa menit dalam kesunyian sampai akhirnya sang lelaki mulai buka
suara.
“Maaf ya, Mbak.”
Rumi yang memang
sejujurnya terburu-buru dan setelah mendapat penjelasan dari sopir taksi bahwa
ternyata sang sopir berhenti karena melihat lambaian tangan sang lelaki,
bukannya Rumi, luluh juga Rumi dengan permohonan maaf lelaki di sebelahnya yang
justru sebenarnya tak perlu meminta maaf.
“Sama-sama, Pak.
Saya juga minta maaf ya. Saya Rumi. Nama Bapak siapa?”
Jawab Rumi
sedikit tergagap sembari menyodorkan tangan kanannya setelah meletakkan
ponselnya di pangkuan.
“Zaki. Cukup Zaki
saja, tanpa Pak atau Bapak. Usia kita juga sepertinya tidak terpaut jauh.”
“Hhmm ok.”
*hening*
Rumi sedang
sibuk menata berbagai file dan beberapa tas yang dia bawa sebelum akhirnya ia
menyadari ternyata Zaki adalah lelaki yang hhmm cukup tampan dan menggairahkan.
Sesekali Rumi mencuri pandang dan berkali-kali pura-pura memeriksa ponselnya
padahal tak ada pemberitahuan apapun di sana, sebelum dengan berani ia
menanyakan sesuatu pada Zaki.
“Zaki, hehehehe
boleh minta pin bb nggak? Atau nomer telfon lo deh.”
Zaki menahan
berbagai asumsi tentang Rumi di kepalanya, berfikir betapa uniknya perempuan
satu ini. Terlalu unik dan............. lancang. Tapi tetap saja unik.
“Kamu yakin?”
“Yakin kok. Emang
kenapa?”
Rumi merasa
hilang. Hilang dalam kebodohannya sendiri, tanpa sadar ia sudah melabel dirinya
sendiri “anjir mureh banget gue minta minta kontak cowok”. Barangkali karena
banyaknya pekerjaan dan kesibukan yang ia jalani membuatnya sedikit hilang
kewarasan. Merubahnya sedikit lebih konyol dan bodoh ketika menyangkut hal yang
selain pekerjaan. Barangkali.
“Nih kamu scan
barcode aja.”
“Ok, makasi ya!”
“Sama-sama.”
“Lo ngapain sih tadi
buru-buru? Ada urusan mendadak?”
“Bunda saya yang
seharusnya tiba di Jakarta 3 jam lagi ternyata sekarang sudah menunggu di depan
pintu rumah kontrakan saya, beliau lupa memberi kabar bahwa pesawat yang
awalnya delay 3 jam ternyata dialihkan ke pesawat lain, jadi ya beginilah,
Bunda saya tiba lebih cepat dari seharusnya. Saya tidak bisa membiarkan Bunda
saya nunggu di luar kelamaan. Kalau kamu sendiri?”
“Gue mesti balik
ke rumah, ambil beberapa file dan keperluan buat nginep di kantor. Karena ada
satu kerjaan dadakan gitu, gue harus lembur yaaaang biasanya bakalan sampe
pagi, jadi ya daripada ntar gue balik ke kantornya kemaleman, mending gue buru-buru
balik sekarang. Gitu.”
*hening*
“Rumi, kamu asli
Jakarta?”
“Bukan. Gue dari
Surabaya, di Jakarta mengadu nasib gitu deh. Lo?”
“Bukan Jakarta
juga. Kamu lagi penempatan kerja sementara atau permanen di Jakarta?”
“Hhhmm sejak
pertama diterima di Perusahaan Periklanan tempat gue kerja sih, kemungkinan
besar gue bakalan menetap di Jakarta. Hehehe :D”
“Betah di sini?”
“Betah nggak
betah kan harus dibetah-betahin, Zaki.”
“Kenapa nggak di
Surabaya aja nyari kerjanya? Kan enak dekat sama keluarga.”
Rumi berfikir
sejenak untuk menjawab pertanyaan Zaki, menimbang haruskah ia menceritakan
alasannya menerima pekerjaan di Jakarta padahal sudah ada beberapa perusahaan
di Surabaya yang menawarkannya pekerjaan dengan posisi yang lebih bagus dan
menjanjikan. Rumi akhirnya memilih menjawab dengan jujur, karena toh Zaki bukan
siapa-siapa, bukan orang di lingkaran keluarga atau teman dan kerabat yang
kelak akan mempengaruhi kehidupan Rumi, toh Zaki orang asing yang yaaa paling
setelah diajak bercerita, besok juga sudah lupa tentang apa yang pernah Rumi
ceritakan.
“Jujur sih ya,
pengennya di Surabaya aja. Kumpul sama Bapak, Ibu, Adik dan teman-teman sedari
kecil. But this is life, Zaki. We need to move on. I had a bad love experience,
so here i am.”
Rumi menjawab
sambil mempraktekkan tanda kutip ketika menyebut kalimat move on.
“Patah hati?”
“Ehehehe iya.”
“Kenapa Jakarta
yang kamu pilih? Nggak sumpek hidup di Jakarta? Udah patah hati makin stres
kalau saya harus menetap di Jakarta.”
“Hhmm gue
ngerasa perlu dibikin sibuk oleh sesuatu. Dan di Surabaya udah terlalu banyak
kenangan yang gue lewatin, gue butuh Jakarta, kota yang menyita perhatian gue,
kota yang bikin gue lari dan terus lari dari waktu ke waktu. Ya sampe kita
harus rebutan taksi kayak tadi misalnya. Hehehe. Pokoknya gue harus terus sibuk
sampe gue ga punya waktu buat mikirin cinta apalagi mantan.”
“Waw. Sudah
berapa lama di Jakarta?”
“Satu tahun
lebih dikit. Kamu?”
“Baru 4 hari. Lalu,
kamu mau sampai kapan tidak ingin memikirkan cinta?”
“Hhhmmm sampe ada yang ngajak nikah kali. Hehehehe.”
*hening*
Zaki sibuk
dengan pemikirannya sendiri, sibuk dengan penemuannya sendiri. Entah bagaimana
proses alamnya, ia menemukan dirinya berbicara dengan orang yang selain Bunda
dan rekan kerjanya, terlebih orang ini adalah perempuan. Zaki menemukan dirinya
hampir menjadi orang lain, bukan dirinya yang biasanya tertutup, sangat tertutup dan
pendiam.
“Kalau saya
ngajak kamu nikah, mau?”
Rumi yang merasa
salah dengar atau entah ia tiba-tiba berpindah ke alam lain, ia hanya bisa
menoleh pasi dan menatap wajah Zaki, lelaki asing yang baru saja ditemuinya,
lelaki asing yang tampan, mempesona dan (sialnya) harum juga.
Lelaki ini
mengajaknya menikah?
Ah atau mungkin ada maksud lain?
Tapi penilaian sepintas
Rumi, Rumi merasa sedikit muak dengan sosok lelaki rapi berkemeja dan
berkacamata. Ya, karena Dino, mantannya juga selalu berpenampilan demikian, dan
kesehariannya di kantor, Rumi pun sering melihat pemandangan macam itu, terlalu
banyak lelaki perpakaian rapi yang sering dilihatnya membuat Rumi sedikit muak
dengan penampilan Zaki.
“Lo ngelindur?”
“Kamu tinggal
jawab. Bagaimana kalau saya mengajakmu menikah? Mau?”
Keheningan beberapa
detik sampai akhirnya sopir memberitahukan bahwa taksi sudah tiba di tempat
yang Rumi tuju.
“Eh gue turun
duluan ya, dah.”
***
Rumi yang baru
saja tiba di kantor pukul 21.15 WIB dan berniat mengecek profil BBM Zaki
menyadari bahwa ponselnya tidak berada di tasnya. Di tempat yang seharusnya. Rumi
memutuskan untuk menghubungi nomor ponselnya melalui pesawat telepon kantor dan bersyukur
karena ada yang mengangkat.
“Halo.”
“Iya.”
“Maaf, saya
Rumi, saya pemilik ponsel yang sedang anda pegang. Bolehka...”
“Ini saya Zaki,
HP kamu tertinggal di taksi tadi. Mau saya antar?”
“Alhamdulillah.
Makasi banget ya, Zaki. Untung di lo, gue udah khawatir banget. Oh ya, nggak nggak
nggak usah dianterin, gue ambil aja deh.
Alamat rumah lo mana?”
***
Setelah dua kali
menekan bel pintu rumah Zaki, pemandangan yang muncul di hadapan Rumi adalah
sesosok yang lahir batin membuatnya tercekat. Zaki mengenakan kaos santai polos
berwarna abu-abu muda dan celana santai selutut berwarna cokelat, dengan rambut
yang masih basah dan harum tubuh khas pria yang menggairahkan. Rumi tak pernah
menyangka bahwa Zaki akan semenggiurkan ini jika tanpa setelan kerjanya, Zaki
yang santai dan meluluhkan.
“SubhanAllah. Eh
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Maaf ya ganggu jam segini. Gue mau langsung ambil HP gue aja ya.”
“Kamu sama
siapa? Naik taksi?”
“Nggak,
dianterin sama temen naik mobil kantor tuh.”
“Oh ok. Masuk dulu,
saya ambilkan HP kamu.”
“Nggak usah, gue
tunggu di kursi teras aja. Hehehe.”
Zaki masuk dan
kembali dalam beberapa menit lalu menyerahkan ponsel Rumi.
“Makasi banyak
ya, Zaki.”
“Sama-sama.”
“Gue pamit dulu
ya. Dah.”
“Rumi, jadi
gimana? Saya serius waktu nanya ke kamu tadi, kalau saya ingin menikahimu. Bagaimana?”
Untuk
pemandangan di hadapan Rumi kali ini, dalam hati Rumi akan menjawab IYA dengan
lantang, tapi masih ada beberapa keraguan yang sangat menggelayuti Rumi,
bagaimana jika ternyata Zaki adalah lelaki dengan kelainan seksual tertentu? Atau
bagaimana jika ternyata Zaki adalah penjahat dengan topeng yang sempurna? Dan berbagai
pengandaian liar lainnya.
“Ya udah gini.
Kalau kita dipertemukan dalam suatu kebetulan lagi kayak kejadian taksi tadi
misalnya, gue bakal mempertimbangkan pertanyaan lo. Ok? Gue balik dulu ya, Daaah.”
***
Rumi menghapus
kontak BBM Zaki dari ponselnya dan mengharap pada kebetulan.
Semoga Dewi Keberuntungan berpihak padanya.
AAMIIN.
#NulisKamisan
S3 #12
0 comments