Hal pertama yang Asa sadari ketika
terbangun sore itu adalah secarik kertas di tangan kanannya. Berjalanlah kemana orang mati menunjuk. Cepat!!
Sebelum matahari tenggelam kau harus sudah menemukannya atau kalimat itu
terputus. Ada yang merobek kertas itu. Atau terenggut entah oleh siapa.
Tiada satu ingatan pun tinggal di
benaknya. Belum sempat ia berusaha meraih memori masa lalunya, Asa mendadak
merasakan kepalanya berdenyut. Tangan kirinya tak menemukan setetes darah atau
benjolan apapun yang bisa menjadi sumber denyut yang mengusiknya itu. Sekonyong-konyong
telinga kirinya menangkap dengungan keras yang bukan berasal dari keramaian
para pengguna jalan.
Asa mengangkat pipinya dari trotoar yang
hangat. Dengan bertelekan menggunakan tangan kiri pada trotoar jalan, ia
berusaha memberi tubuhnya untuk sekali lagi mengingat. Betapa sukar mengenang
apa yang tak ingin dilupakan. Terlebih saat hal itu tidak diketahui. Perempuan itu
sungguh tidak tahu apa yang ia cari di ingatannya. Ia merasa seperti Teresa
ketika tiba di the Glade dalam film The Maze Runner. Asa tak menemukan sedikitpun
jejak dirinya di masa lalu, tak ada ingatan akan masa kecil yang bahagia, atau
ingatan akan patah hati. Kemudian, setelah memindahkan berat tubuhnya pada
tangan kanan, perempuan itu menaikkan dagunya, memandangi awan-awan yang
tersaput warna jingga, memejamkan mata lalu menghidu rakus-rakus udara kotor
penuh asap knalpot.
Di akhir helaan nafasnya, Asa
dibangunkan oleh lengking klakson kendaraan yang berderet menanti giliran untuk
beranjak. Perempuan itu berdiri pada kedua kakinya sendiri. Meneliti secara
serampangan akan apa yang ia punyai. Sepasang sepatu kain yang solnya coklat
oleh noda tanah liat yang entah di mana ia dapatkan. Kaos longgar yang terlalu
besar untuk postur badannya, lengan pendek yang di lengan kanannya kotor oleh
debu. Rambut sepunggung yang entah kapan tumbuh sepanjang itu, terikat ekor
kuda. Yang agak mengesimakan adalah celana jeans biru yang bersih, bukan saja
karena ia tak ingat pernah menyukai mengenakan celana jeans, tapi juga tak
yakin ia pernah memiliki sehelai saja celana panjang.
Empat kantong celananya tak menyimpan
harta apapun, bahkan dompetpun tak ada, apalagi tanda pengenal. Satu-satunya
modal adalah secarik kertas yang tak ia tahu fungsinya. Asa menatap kertas itu
tanpa gairah. Ada garis belang di pergelangan tangannya, barangkali bekas jam
tangan atau gelang. Siapa yang tahu? Siapa yang perlu jam atau gelang pada
waktu begini. Perempuan itu menyeka keningnya yang lengket menggunakan punggung
tangan. Satu dua serpih kerikil tanggal dari pipinya yang tadi menempel ke
trotoar jalan.
Sambil menaungi matanya, Asa mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Deretan mobil tak bergerak, lampu-lampunya menyala
merah dan kuning. Udara berwarna kuning pucat, baunya bikin mual. Perempuan itu
mencoba mencari asal muasal bau itu, namun menyerah setelah ingatannya tak
membantu suatu apa. Ia hampir putus asa mencari sesuatu yang barangkali bisa ia
lakukan saat itu. Sebentar lagi senja turun.
“Berjalanlah kemana orang mati menunjuk.
Cepat!! Sebelum matahari tenggelam kau harus sudah menemukannya,” Asa menggumam
seolah itu adalah mantra sihir yang bisa membelah bumi dan menunjukkan jalan
yang tak secuilpun ia kenali. “Atau...” rambut halus di tengkuknya meremang.
Apa yang harus
aku lakukan? Asa kembali menekuri kertas di tangannya.
Tiba-tiba ia menoleh ke seberang jalan. Alamak!
Seakan satu kilo jarak di matanya. Matanya menyipit. Angin laju menggoyangkan
ujung rambutnya. Asa mengangkat tangannya, perlahan, diliputi keraguan,
melepaskan pegangannya pada kertas di tangannya. Berjalanlah kemana orang mati menunjuk. Cepat!! Sebelum matahari
tenggelam kau harus sudah menemukannya, atau...
Asa menatap ke depan dan ke belakang. Nun
jauh di sana, tertangkap olehnya patung pancoran. Patung = orang mati,
pikirnya. Berjalan ia mendekati patung itu. Mula-mula pelan, namun sejurus
kemudian ia berlari. Tak ada satu butir keringatpun tumbuh di keningnya atau
tangannya atau ketiaknya.
Apa yang akan
terjadi seandainya aku tidak sampai di sana sebelum matahari tenggelam? Senja membunuh.
Apakah aku akan mati bila senja
menghilang?makhluk macam apa yang mati karena munculnya bulan? apakah aku ini
sejenis vampir siang hari? Yang terbakar bila terkena sinar bulan?
Nafas Asa tidak memburu sedikitpun. Jantungnya
tidak memompa darah membabi buta. Seolah jarak yang ia tempuh bukanlah kerja
keras. Perempuan itu membuka telapak tangannya untuk mengagumi tubuhnya. Tak terasa
suatu keganjilan. Tapi ia takut. Lalu ia sadar bahwa garis tangannya berbeda. Hanya
ada dua garis di sana, salah satunya melintang lurus dari kelingking hingga di
bawah jari telunjuk. Namun Asa dengan segera memutuskan untuk mengabaikannya,
tak ada waktu. Ia lebih peduli pada patung pancoran yang kini menjulang di hadapannya.
Lalu apa?
Kepalanya kembali berdenyut. Suara
dengung kini menghebat di telinga kirinya. Tuli, hampir.
Asa menghadap pada arah tangan patung di
atasnya menunjuk. Ke sana? Apa yang
sedang menunggunya?
Sinar oranye matahari tak lagi menyentuh
tanah. Hampir-hampir hilang dari pucuk-pucuk gedung tinggi di pinggir jalan. Tanpa
pikir panjang ia meloncat turun ke jalan, menyebrang. Sebuah mobil dengan plat
2 angka meluncur deras di tikungan. Tak sedikitpun Asa melihatnya, kepalanya
menoleh ke depan, jalan tanpa ujung yang akan ia tempuh. Tiba-tiba dingin
menyelimuti tubuhnya. Ia meloncat sekali lagi, hap! Dan mobil itu melaju tak
acuh di belakangnya. Tak ada umpatan. Tiada gubrisan. Mereka berjalan bersisian
untuk sejenak. Lalu mobil itu melenggang mendahului Asa.
Pada suatu jarak, mobil ungu itu
berhenti. Tertahan gerombolan besi keras yang menderu mesin-mesinnya. Di atas
sana, langit telah berwarna tembaga. Perempuan itu memalingkan pandangan kepada
trotoar yang rusak di beberapa bagian, seakan ia membenci senja, seolah senja
menyakiti matanya. Asa mengusap tangannya yang telanjang, dingin. perempuan itu
memperhatikan kulitnya seperti takut jikalau kulitnya mengeluas, terbakar oleh
bulan, memusnahkan dirinya, hilang. Barangkali tak akan ada yang menangisi bila
ia menghilang.
Asa tidak mendengar seruan lelaki itu
pada kesempatan pertama dan kedua. Ia terlalu khusuk memperhatikan trotoar. Kemudian
lelaki itu turun dari mobilnya, dan mengejar Asa. Menghalangi jalan Asa,
menggoncang bahunya. Memanggilnya ‘Asa! Asa!’ Perempuan itu membisu memandang
bibir biru lelaki di depannya. Hangat, segala dingin kini menghilang. Lelaki itu
memeluk Asa penuh gairah. Seakan tak hendak ia lepaskan. Senja menjadi Hangat.
Perempuan itu butuh pelukan! [ ]
*Senja Membunuh : judul Lagu Monkey To Millionaire
0 comments