Alandesoisons Minggu 12

Kamisan S3 #12: Aku di Mana?

15.36Unknown


Hal pertama yang Asa sadari ketika terbangun sore itu adalah secarik kertas di tangan kanannya. Berjalanlah kemana orang mati menunjuk. Cepat!! Sebelum matahari tenggelam kau harus sudah menemukannya atau kalimat itu terputus. Ada yang merobek kertas itu. Atau terenggut entah oleh siapa.
Tiada satu ingatan pun tinggal di benaknya. Belum sempat ia berusaha meraih memori masa lalunya, Asa mendadak merasakan kepalanya berdenyut. Tangan kirinya tak menemukan setetes darah atau benjolan apapun yang bisa menjadi sumber denyut yang mengusiknya itu. Sekonyong-konyong telinga kirinya menangkap dengungan keras yang bukan berasal dari keramaian para pengguna jalan.
Asa mengangkat pipinya dari trotoar yang hangat. Dengan bertelekan menggunakan tangan kiri pada trotoar jalan, ia berusaha memberi tubuhnya untuk sekali lagi mengingat. Betapa sukar mengenang apa yang tak ingin dilupakan. Terlebih saat hal itu tidak diketahui. Perempuan itu sungguh tidak tahu apa yang ia cari di ingatannya. Ia merasa seperti Teresa ketika tiba di the Glade dalam film The Maze Runner. Asa tak menemukan sedikitpun jejak dirinya di masa lalu, tak ada ingatan akan masa kecil yang bahagia, atau ingatan akan patah hati. Kemudian, setelah memindahkan berat tubuhnya pada tangan kanan, perempuan itu menaikkan dagunya, memandangi awan-awan yang tersaput warna jingga, memejamkan mata lalu menghidu rakus-rakus udara kotor penuh asap knalpot.
Di akhir helaan nafasnya, Asa dibangunkan oleh lengking klakson kendaraan yang berderet menanti giliran untuk beranjak. Perempuan itu berdiri pada kedua kakinya sendiri. Meneliti secara serampangan akan apa yang ia punyai. Sepasang sepatu kain yang solnya coklat oleh noda tanah liat yang entah di mana ia dapatkan. Kaos longgar yang terlalu besar untuk postur badannya, lengan pendek yang di lengan kanannya kotor oleh debu. Rambut sepunggung yang entah kapan tumbuh sepanjang itu, terikat ekor kuda. Yang agak mengesimakan adalah celana jeans biru yang bersih, bukan saja karena ia tak ingat pernah menyukai mengenakan celana jeans, tapi juga tak yakin ia pernah memiliki sehelai saja celana panjang.
Empat kantong celananya tak menyimpan harta apapun, bahkan dompetpun tak ada, apalagi tanda pengenal. Satu-satunya modal adalah secarik kertas yang tak ia tahu fungsinya. Asa menatap kertas itu tanpa gairah. Ada garis belang di pergelangan tangannya, barangkali bekas jam tangan atau gelang. Siapa yang tahu? Siapa yang perlu jam atau gelang pada waktu begini. Perempuan itu menyeka keningnya yang lengket menggunakan punggung tangan. Satu dua serpih kerikil tanggal dari pipinya yang tadi menempel ke trotoar jalan.
Sambil menaungi matanya, Asa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Deretan mobil tak bergerak, lampu-lampunya menyala merah dan kuning. Udara berwarna kuning pucat, baunya bikin mual. Perempuan itu mencoba mencari asal muasal bau itu, namun menyerah setelah ingatannya tak membantu suatu apa. Ia hampir putus asa mencari sesuatu yang barangkali bisa ia lakukan saat itu. Sebentar lagi senja turun.
“Berjalanlah kemana orang mati menunjuk. Cepat!! Sebelum matahari tenggelam kau harus sudah menemukannya,” Asa menggumam seolah itu adalah mantra sihir yang bisa membelah bumi dan menunjukkan jalan yang tak secuilpun ia kenali. “Atau...” rambut halus di tengkuknya meremang.
Apa yang harus aku lakukan? Asa kembali menekuri kertas di tangannya.
Tiba-tiba ia menoleh ke seberang jalan. Alamak! Seakan satu kilo jarak di matanya. Matanya menyipit. Angin laju menggoyangkan ujung rambutnya. Asa mengangkat tangannya, perlahan, diliputi keraguan, melepaskan pegangannya pada kertas di tangannya. Berjalanlah kemana orang mati menunjuk. Cepat!! Sebelum matahari tenggelam kau harus sudah menemukannya, atau...
Asa menatap ke depan dan ke belakang. Nun jauh di sana, tertangkap olehnya patung pancoran. Patung = orang mati, pikirnya. Berjalan ia mendekati patung itu. Mula-mula pelan, namun sejurus kemudian ia berlari. Tak ada satu butir keringatpun tumbuh di keningnya atau tangannya atau ketiaknya.
Apa yang akan terjadi seandainya aku tidak sampai di sana sebelum matahari tenggelam? Senja membunuh. Apakah aku akan mati bila senja menghilang?makhluk macam apa yang mati karena munculnya bulan? apakah aku ini sejenis vampir siang hari? Yang terbakar bila terkena sinar bulan?
Nafas Asa tidak memburu sedikitpun. Jantungnya tidak memompa darah membabi buta. Seolah jarak yang ia tempuh bukanlah kerja keras. Perempuan itu membuka telapak tangannya untuk mengagumi tubuhnya. Tak terasa suatu keganjilan. Tapi ia takut. Lalu ia sadar bahwa garis tangannya berbeda. Hanya ada dua garis di sana, salah satunya melintang lurus dari kelingking hingga di bawah jari telunjuk. Namun Asa dengan segera memutuskan untuk mengabaikannya, tak ada waktu. Ia lebih peduli pada patung pancoran yang kini menjulang di hadapannya.
Lalu apa?
Kepalanya kembali berdenyut. Suara dengung kini menghebat di telinga kirinya. Tuli, hampir.
Asa menghadap pada arah tangan patung di atasnya menunjuk. Ke sana? Apa yang sedang menunggunya?
Sinar oranye matahari tak lagi menyentuh tanah. Hampir-hampir hilang dari pucuk-pucuk gedung tinggi di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang ia meloncat turun ke jalan, menyebrang. Sebuah mobil dengan plat 2 angka meluncur deras di tikungan. Tak sedikitpun Asa melihatnya, kepalanya menoleh ke depan, jalan tanpa ujung yang akan ia tempuh. Tiba-tiba dingin menyelimuti tubuhnya. Ia meloncat sekali lagi, hap! Dan mobil itu melaju tak acuh di belakangnya. Tak ada umpatan. Tiada gubrisan. Mereka berjalan bersisian untuk sejenak. Lalu mobil itu melenggang mendahului Asa.
Pada suatu jarak, mobil ungu itu berhenti. Tertahan gerombolan besi keras yang menderu mesin-mesinnya. Di atas sana, langit telah berwarna tembaga. Perempuan itu memalingkan pandangan kepada trotoar yang rusak di beberapa bagian, seakan ia membenci senja, seolah senja menyakiti matanya. Asa mengusap tangannya yang telanjang, dingin. perempuan itu memperhatikan kulitnya seperti takut jikalau kulitnya mengeluas, terbakar oleh bulan, memusnahkan dirinya, hilang. Barangkali tak akan ada yang menangisi bila ia menghilang.
Asa tidak mendengar seruan lelaki itu pada kesempatan pertama dan kedua. Ia terlalu khusuk memperhatikan trotoar. Kemudian lelaki itu turun dari mobilnya, dan mengejar Asa. Menghalangi jalan Asa, menggoncang bahunya. Memanggilnya ‘Asa! Asa!’ Perempuan itu membisu memandang bibir biru lelaki di depannya. Hangat, segala dingin kini menghilang. Lelaki itu memeluk Asa penuh gairah. Seakan tak hendak ia lepaskan. Senja menjadi Hangat. Perempuan itu butuh pelukan! [ ]
*Senja Membunuh : judul Lagu Monkey To Millionaire

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak