Alandesoisons Minggu 13

Kamisan S3 #13: Berderak!

17.02Unknown

Kegelapan hanyalah tetek bengek. Ia tak menghalangi sedikitpun langkah Pigor. Melonjak mengikuti irama paru-parunya mendenguskan udara. Liat menyusuri jalan yang tercipta oleh rumput dan semak yang lantak terinjak pada masa yang baru-baru saja. Beberapa minggu ini telah cukup untuk membuat Pigor mengenali segala lekuk permukaan tanah yang ia lewati kini. Bau-bau segar daun muda yang bertunas, bunga-bunga yang baru saja merekah, serta getah yang meleleh setelah sebatang ranting atau daun patah karena geraknya.
Di depan, dalam gelap malam, tampak tanah lapang, cahaya bulan menerangi gundukan tanah di batas tumbuhnya pepohonan. Genggaman tangannya makin erat pada telapak tangan lembut yang hangat mengusir lelah dan dingin udara. Lekat seakan tak hendak ia lepaskan. Terus saja ia seret tangan itu, demi tanah lapang di depan mereka.
“Lihat, kita sudah sampai.”
Perempuan itu tidak sempat terengah-engah, jangankan mengumpat. Matanya terkesima oleh jalur rel kereta yang seolah muncul seperti candi Prambanan yang dibangun dalam semalam oleh Bandung Bondowoso, konon. Asa memindahkan berat tubuhnya pada tangan yang telah ia bebaskan dari genggaman Pigor dan menelekannya di lutut dengan punggung melengkung. Mukanya terdongak memandangi kabin berwarna putih yang tak pernah ia lihat. Bentuknya aneh, peot di sana-sini, tak sedikitpun mengesankan kekukuhan.
Pigor telungkup di tanah. Begitu tangan itu lepas, dayanya menciut. Tandas disesap malam. Ransel di punggungnya bagaikan paku bumi yang menancapkannya pada tanah basah. Malam sepi, pohon-pohon beku dan angin mati. Rumput tipis dan tanah telanjang pasrah ditimpa cahaya bulan yang cemerlang.
 Lelaki itu menyeret ranselnya ke atas jalur rel kereta. Lalu, tanpa mantra, ia membuka resleting ranselnya dan mengeluarkan lokomotif kereta api dari sana, tepat di depan benda putih yang reot. Pigor menarik ranselnya kepayahan, sementara lokomotif itu mulus saja keluar dari mulut ransel Pigor yang seperti hendak sobek. Asa menggelengkan kepalanya melihat lelaki itu jumawa memandangnya dengan senyum mengembang.
“Sinting! Dari mana kamu dapatkan benda itu?”
Pigor menggaruk kepalanya. “Aku beli ransel ini dari serigala.com. diskon 70%. Murah ya?” kebanggaan mengukir senyumnya kian nyalang. Berjalan ia mengitari lokomotif di depannya. “Tadinya aku nyari teflon sama setrikaan. Yah... kamu tahu, aku sedang membutuhkan setrika dan teflon, sebenarnya, tapi aku tahu apa yang aku inginkan. Aku butuh ransel untuk membawa lokomotif ini.”
Asa menegakkan punggungnya. Tidak ada niat untuk menanggapi omong kosong Pigor. Perempuan itu mengamati ke sekililing untuk tak mendapati satupun tanda kehidupan. Ia sungguh tidak mengetahui di mana ia berada. Kemudian tanah bergetar seiring dengan bunyi kasar dari lokomotif yang berfungsi dengan baik. Pigor meloncat turun dari atas lokomotif setelah mengaitkan lokomotif dengan kabin putih di belakngnya. Tanpa aba-aba, Pigor menarik tangan Asa menuju ke kabin.
“Apa kau yakin ini kuat?” tanya Asa sambil menjejakkan sebelah kakinya ke permukaan kabin kereta. Lantai itu dipenuhi baris-baris huruf yang lurus dan kecil, seperti halaman buku.
“Percayalah, sayang, tiada yang lebih kuat dari cinta Oscar Wao kepada Y’born; tentu saja selain cintaku kepadamu.”
Kemudian Pigor mulai membual tentang bagaimana ia membuat kabin kereta itu dari halaman buku ‘The Brief Wondrous Life of Oscar Wao’. Dan memang itulah yang terbukti. Kabin itu tak bergoyang sedikitpun ketika lokomotif itu mulai berjalan. Kabin itu tanpa jendela. Belaka berisi dua kursi yang saling berhadapan di antara meja kertas yang berdiri di atas satu kaki tipis yang menyati dengan lantai kabin. Terang meskipun tanpa lampu. Serta kedap suara meskipun kabin itu tak berpintu.
“Ke mana kau akan membawaku?”
“Wah wah itu kejutan...” seringai Pigor tak sedikitpun memuaskan Asa.
“Cih!! Siapa yang butuh kejutan? Lebih baik kau turunkan aku di depan rumahku sekarang juga atau aku takkan mau bicara lagi denganmu!”
“Tidak!! Aku tidak akan menghentikan kereta ini sebelum kamu mengatakan bersedia menikah denganku.”
Asa menaikkan sebelah sudut bibirnya, lalu tergelak. “Jawabanku tetap sama. Aku akan menjadi istrimu saat kau bisa menghamiliku.” ujar Asa dingin sambil melubangi kabin itu dengan telunjuknya, membuat sebuah lubang jendela mini, di sana ia membuang pandangannya.
Pigor memukul meja kertas di depannya. Cuil, serpihannya jatuh tak bersuara membentur lantai kabin. “Aku bisa memberikan seluruh dunia kepadamu, tetapi kamu justru selalu meminta hal yang takkan bisa kupenuhi.” Diam. Berkas cahaya dari luar masuk melalui jendela kabin saat mereka melewati kota pertama setelah keluar ari hutan. “Kamu sendiri tahu, berkali-kali kuceritakan padamu bahwa Saruman pada suatu malam terkutuk telah mengambil bijiku untuk membangun pasukan di Isengard.”
“Aku tidak mau tahu! Kalau kau ingin menikahiku maka kau harus bisa menghamiliku.” sanggah perempuan itu pelan. Pigor bisu. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu kabin. “Dan dari mana kau mendapatkan benda sialan ini?” teriak Asa sekali lagi.
Pigor terbahak, keras sekali. “Baiklah. Maka kamu akan menjadi tawananku di kereta ini seperti Fermina Daza mejadi tawanan Florentino Ariza di kapalnya.”
Tapi Asa tak gentar sedikitpun. Jiwanya malahan bergairah. Tak sabar. Benar-benar ia ingin mengetahui, mana yang akan mampu bertahan lebih lama; orang yang mengabaikan cinta seseorang atau orang yang cintanya diabaikan? Asa tersenyum nyalang.
“Ah... aku mencuri lokomotif itu dari stasiun Senen.”
***
Stasiun Senen, 7 Juli 2015. 19.05 WIB.
Nhaz masih memandangi dirinya sendiri di kaca jendela kereta api yang belum juga berangkat. Ia sudah mempersiapkan dirinya secantik mungkin untuk menjemput kematiannya. Setelah dua percobaan bunuh dirinya gagal, kini ia yakin, sungguh yakin bila upaya ketiganya ini akan berhasil. Asumsinya tidak akan lagi meleset. Ia akan mati membeku kedinginan di dalam kereta berpendingin udara, terutama hatinya sudah lama membeku karena berkali-kali diabaikan oleh lelaki pujaan hatinya.
 
Bibirnya merah, matanya berwarna coklat berkat soft lens. Kukunya ia pulas dengan warna perak berkilap. Tulang pipinya menonjol segar bagaikan kulit buah tomat yang diliputi embun di pagi hari. Tentu saja ia begitu puas melihat dirinya kini, alih-alih teringat dua kejadian terdahulu. Perempuan itu bersyukur tidak jadi mati ketika ia meloncat dari jendela apartemennya di lantai 15 dan jatuh ke dalam kolam renang sedalam 2 meter. Di percobaan kedua, lebih menyedihkan lagi, ia menggantung dirinya di dahan pohon beringin, di pinggir jalan, jam 2 siang! Nhaz tersenyum saat kembali teringat rencana bunuh dirinya kali ini yang ia yakin akan berhasil, tak terbantahkan, mati membeku karena kedinginan. Siapa yang masih bisa hidup karena tubuhnya membeku? Tidak ada!
Tetapi senyum itu mulai pudar saat jam tangan pemberian lelaki pujaannya menunjukkan pukul 19.15 WIB dan belum ada tanda-tanda kereta itu akan berangkat. Lalu suara perempuan itu menghancurkan hatinya kembali, luluh lantak.
“Diberitahukan kepada penumpang kereta Senja Utama yang sedianya akan berangkat pukul 19.00 WIB jurusan Stasiun Senen, Jakarta, Tujuan Stasiun Tugu, Yogyakarta, belum bisa diberangkatkan karena gerbong lokomotif telah dicuri!”
Nhaz menggigit bibirnya karena sekali lagi keinginannya diinterupsi oleh Takdir. [ ]

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak