Eru nyaris saja meneteskan air mata kalau
saja Linka tidak datang dan menyengat kulitnya dengan kaleng minuman
ringan ekstra dingin. Baiklah, mungkin saja tidak sedingin itu. Mungkin
saja Eru yang terlalu hanyut dalam lamunan hingga sentakan seperti itu
memberi efek kejut yang luar biasa padanya. Eru mengambil kaleng kopi
dingin dari tangan Linka dan mendengus.
“Matikan saja mp3mu,” ucap Linka. Eru
menoleh. Temannya itu mengatakannya santai saja, Linka malah terlihat
serius mengotak-atik gambar, contoh desain kartu ucapan, yang menurut
Eru sudah sempurna dan seharusnya tidak perlu dia acak lagi.
“Kauterganggu?” Eru bertanya
“Nggak. Aku tidak pernah terganggu kalau kaumendengarkannya sebagai mood booster. Aku hapal kebiasaanmu satu itu. Tapi kali ini sebaiknya tidak.”
“Kenapa?” Eru mencecar.
“Nggak. Aku tidak pernah terganggu kalau kaumendengarkannya sebagai mood booster. Aku hapal kebiasaanmu satu itu. Tapi kali ini sebaiknya tidak.”
“Kenapa?” Eru mencecar.
Linka memandang Eru tidak percaya. Kauyakin sedang bertanya? Itu yang Eru lihat dari wajah temannya itu.
Ya. Ya. Eru tahu. Belakangan ini ia menjadi cengeng. Bahkan sebuah lagu bisa membuatnya tercenung sampai hampir menangis.
Eru berbalik, menyesap isi kaleng kopi sekali teguk lalu berusaha mengembalikan fokus pada apa yang sedang ia kerjakan.
“Memangnya apa yang Nora lakukan?” itu suara Linka. “Sekadar info saja, kita tidak akan pernah kekurangan perempuan.” tambahnya.
Eru kembali berbalik. Mata hitam Linka menantangnya. Tajam dan terasa mematikan. Apa-apaan ini?
“Nora,” Eru ingin memulai tapi lalu terdiam. Pakai
akal sehatmu Eru! Siapa yang akan percaya bahwa Nora adalah Peri
Pengumpul Embun Musim Hujan? Lalu mengatakan kalau gadis peri itu jatuh
cinta padamu. Tak ada!
“Apa?” Linka mendesak. Jujur saja, ia
sudah jengkel melihat tingkah Eru belakangan ini. Temannya seperti
kehilangan sari pati hidup. Seolah jiwanya sudah pralina*. Hilang,
lebur, binasa bersama perginya Nora dari hidup sahabatnya itu. “Lupakan
Nora, Eru dan kauakan kaget mendapati dirimu jatuh cinta pada selusin
gadis di waktu yang sama.”
Yang benar saja, batin Eru. Ia tidak
ingin memperpanjang kuliah umum mengenai melupakan dan jatuh cinta dari
Linka. Sarannya tak akan berguna karna sesungguhnya yang Linka lalukan
di antara frasa melupakan dan jatuh cinta adalah menyumbang penuh dalam
kolam gen.
“Lupakan saja,” Eru berbalik. Menutup
applikasi indesign, illustrator, photoshop, dan corel dari layar
komputernya. Sedari pagi tak ada satu pun hal yang selesai ia kerjakan.
Eru mengacak-acak rambutnya. Gemas. Ia meraih ponsel dari atas meja lalu
melangkah keluar dari kubikelnya.
Sesampainya di rooftop Eru
mengempaskan tubuh pada kursi besi di sudut. Tangannya memijat pelipis
perlahan seakan dengan begitu perasaan hampa yang dia rasakan akan
hilang.
Sialan kau, Nora! Ke mana sih kaumenghilang?!
Setengah frustasi, Eru membuka galeri
foto di ponselnya. Beberapa kali ia pernah diam-diam memotret Nora
ketika gadis itu bersijingkat di halaman rumahnya mengumpulkan embun
pertama setiap hari. Gadis itu cantik, tubuhnya berpendar seolah
memantulkan cahaya. Nora tidak tinggi, rambutnya panjang melewati bahu,
berwarna coklat dengan sedikit ikal. Mata hijaunya bulat seperti
kancing.
Pada pertemuan pertama mereka, Nora
terlalu takut ketika menyadari bahwa Eru– pria pemilik halaman tempat ia
mengumpulkan embun–bisa melihat dirinya. Sudah diketahui secara turun
temurun bahwa peri dan manusia meski berada di dunia yang sama tetapi
memiliki portal yang berbeda. Bangsa peri bisa melihat, menyentuh apa
yang ada di portal manusia sementara manusia tak akan bisa melihat dunia
peri.
Namun pertemuan Nora dan Eru adalah
takdir. Dalam kitab-kitab negeri peri dikatakan jika manusia bisa
melihat peri maka keduanya, Sang Manusia dan Sang Peri, niscaya terikat
dalam perjodohan. Dongeng lama yang mulai tak dipercayai bangsa peri
sendiri. Lambat-laun terlupakan. Dan ketika hal itu terjadi tak ada yang
mengingatnya.
“Aku harus pulang, Eru,”
Eru tahu, saat mendengar Nora mengatakan
itu ia tidak akan bisa lagi bertemu si Gadis Peri. Musim penghujan akan
berganti kemarau. Aroma kering angin telah menguatkan dugaannya itu.
“Embun tetap ada meski tak di musim
penghujan, Nora. Kautetap bisa mengumpulkan embun pertama dari halamanku
meski di musim kemarau sekalipun.” Sedikit pun Eru tak rela kehilangan
Nora.
Nora memandang Eru lembut. Cahaya
terlihat samar-samar meronai pipinya. Gadis itu mengambil tangan Eru dan
digenggamnya, “Tidak bisa,” katanya. “Negeri kami hanya menggunakan
embun pertama dari musim hujan, Eru. Lagi pula, udara musim kemarau akan
membakar sayap kaum peri menjadi abu. Tugasku di sini sudah selesai. Kalau kaumau menunggu, aku akan datang lagi di musim mendatang.”
“Tetapi enam bulan terlalu lama, Nora.” Lelaki itu mengerang.
“Maka tak ada lagi yang bisa kita lakukan
dengan ini. Sebelum aku datang, kaubaik-baik saja. Akan sama saja
setelah aku pergi.” Nora tersenyum.
Hanya senyum. Selebihnya tak ada lagi hal
yang menandakan kehadiran Nora dalam hidup pria itu. Eru menatap layar
ponselnya. Tak ada potret Nora yang tergambar di foto-foto yang ia
ambil. Gadis itu seolah lenyap begitu saja. Hilang bersama aroma
petrichor yang lesak ke dalam tanah.
Aku tak akan baik-baik saja, Nora.
Kehadiranmu memberiku sesuatu tetapi kepergianmu mengambil lebih banyak.
Eru tak bisa terus-terusan seperti ini. Ketika sebuah ide terlintas di
benaknya, Eru nyaris berseru.
Lelaki itu membuka applikasi opera mini
di ponselnya. Dengan kata kunci rumah kaum peri ia mulai menyusuri satu
persatu laman rujukan. Paling tidak aku sudah berusaha untuk menemukan
Nora, pikir Eru.
Sesuai jenisnya, para peri hidup di tempat-tempat berbeda. Para elf atau peri hutan tinggal di dalam hutan. Peri bunga tinggal di rumpun taman bunga. Peri air tinggal di atas bunga teratai. Peri angin di padang rumput. … … …
Eru memburu bacaan itu sampai habis dan
ia tak beroleh informasi apa-apa. Ia mencoba laman rujukan yang lain.
Tak ada. Yang lain lagi. Dan tetap ada. Tak ada satu tulisan pun yang
menyebut-nyebut peri pengumpul embun.
Seolah gadis itu tak ingin ditemukan. Salah. Seolah gadis itu tak pernah ada. Eru bergidik. Berpikirlah, Eru, ayoh berpikir! Karena Nora mengumpulkan embun yang notabene adalah air mungkin ia adalah peri air. Ya! Nora adalah peri air.
Eru bergegas. Ia menuju taman kota. Satu-satunya tempat yang ia tahu memiliki kolam bunga teratai.
Tengah hari di musim kemarau. Sinar
matahari menyorot tajam. Menyengat apa saja yang bersentuhan dengan
cahayanya. Eru mengabaikan rasa menggigit di kulit ari-nya. Pria itu
mengelilingi kolam. Memeriksa setiap rumpun bunga teratai lamat-lamat. Rasanya ada yang salah. Tetapi Eru tak terlalu yakin itu apa.
Tadinya Eru mengira sesuatu yang terbang
keluar dari kelopak teratai yang masih kuncup tak jauh di depannya ini
hanya seekor capung atau serangga lainnya tetapi ketika ia perhatikan
lebih detil, sosok itu bukan serangga meski bersayap. Sosok kecil itu
bertubuh manusia. Yang berbeda hanya sayap dan cupingnya yang runcing.
“Ha-halo.” Eru tergugu. Terus terang ia
tidak tahu harus bagaimana. Benar saja, rasanya ada yang salah. Nora
memang lebih pendek darinya tetapi tidak sekecil peri air ini. Dasar
bodoh! Bagaimana Nora bisa tinggal di dalam kelopak bunga teratai?
Si Serangga, maksud Eru si Peri Air meski
terkejut ada manusia yang bisa melihatnya ia tak tampak takut. Peri itu
malah terbang mendekat.
“Ada yang bisa kubantu, Tuan?” suaranya lembut dan bergolambang.
“Aku mencari seorang peri. Namanya Nora. Dia peri pengumpul embun. Kautahu di mana aku bisa menemukannya?”
“Peri pengumpul embun? Maksudmu peri pekerja?”
Eru mengerutkan kening, “Apa saja,” katanya. “Tahu di mana peri ini tinggal?”
“Semua peri pekerja tinggal di istana peri. Kalau Nora yang kaumaksud benar seorang peri pekerja.”
“Di mana letak istana peri itu?” kegembiraan meluap di suaranya.
“Istana peri terletak di tepi laut.
Masalahnya, Tuan, istana peri selalu berpindah-pindah. Kami bangsa peri
air pun tidak tahu di mana letak pastinya karna kami bukan penghuni
istana.”
Kegembiraan Eru menguap bersama air kolam ke udara. Terserap udara musim kemarau.
Kalau kaumau menunggu, aku akan datang lagi di musim mendatang.
Baiklah, Nora. Kaubenar-benar memaksaku untuk menunggu rupanya.
——
Ketika satu musim datang, satu musim lainnya menghilang
——–
23:33
Aria
Aria
Catatan :
1) Pralina dalam bahasa Sansekerta artinya larut. Dalam agama Hindu artinya dibakar/dilebur/dimusnahkan.
2) Pulang, Abu dan Laut adalah tiga kata kunci dari abang Dwi. Metode ini pernah aku pakai di Kamisan #1 Perjalanan : Dalam Sebuah Paket ketika tidak sama sekali memiliki ide untuk menulis. Seperti Kamisan sebelumnya, Kamisan ini pun aku berikan padanya.
3) Kisah ini fiktif, tentu saja, maksudnya soal peri-peri di dalam cerita ini murni ngarang. Aku nggak sempat riset :v
1) Pralina dalam bahasa Sansekerta artinya larut. Dalam agama Hindu artinya dibakar/dilebur/dimusnahkan.
2) Pulang, Abu dan Laut adalah tiga kata kunci dari abang Dwi. Metode ini pernah aku pakai di Kamisan #1 Perjalanan : Dalam Sebuah Paket ketika tidak sama sekali memiliki ide untuk menulis. Seperti Kamisan sebelumnya, Kamisan ini pun aku berikan padanya.
3) Kisah ini fiktif, tentu saja, maksudnya soal peri-peri di dalam cerita ini murni ngarang. Aku nggak sempat riset :v
2 comments
Kelanjutannya apa??? Gimana, sy mau tau, paling suka cerita fiksi tentang peri😍😍😍
BalasHapusKelanjutan peri pengepul embun donk heru dan nora, gk bosan" bacanya n pingin tau kslanjutannya
BalasHapus