Olihn Season 2

Kamisan S2 #14 - Serendipity: Sesuatu yang Diinginkan

13.40Unknown

“Aku tidak takut.”

“Ya, kau tidak takut.”

“Aku sama sekali tidak takut.”

“Ya, kau sama sekali tidak takut.”

“Hei, kenapa kau terus mengejekku. Aku sudah bilang kalau aku tidak takut.”

Pemuda itu diam, dan hanya menatap tegas mata lawan bicaranya. “Hei, Bung! Dengar … belum terlambat bila kau ingin membatalkan ketololan macam ini. Kau tahu, sudah banyak yang menjadi—”

“Jadi, menurutmu aku akan gagal. Begitu? Sahabat macam apa kau ini?!”

“Hei, hei, dengar dulu … hei!”

Namun, si Lelaki telah berjalan meninggalkan sahabatnya.

“Apa menurutmu dia akan berhasil?”

“Siapa yang tahu.”

“Aku harap dia akan berhasil. Kota ini akan sangat merindukan sosoknya, jika dia sampai gagal.”

“Ya, aku pun berpikir hal yang sama. Ah, iyaa, ngomong-ngomong, apa dia benar-benar melakukan hal itu … mengatakan kepada semua orang?”

“Ya, sebenarnya, tidak kepada semua orang. Hanya kepada setiap orang yang ia jumpai, ia akan selalu berkata seperti ini, ‘Aku akan menjadi orang pertama yang mendapatkannya. Kau lihat saja!’ sungguh pria yang besar mulut.”

“Ya. Dan juga bodoh.”

“Juga bodoh.”

Kedua pria itu menatap punggung lelaki yang berjalan mendekati danau. Dan, seolah diberi komando, mereka mendesah secara bersama-sama.

Seorang pemuda dari kota lain yang kebetulan melintas, menepikan sepeda motornya, dan bergabung dalam kerumunan.

“Ada apa ini?”

“Ada seorang bodoh yang ingin mengantar nyawa.”

Lelaki yang dimaksud terus maju dengan gagah. Ia bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek berwarna merah tua. Kulit tubuhnya telah mengendur, dan bintik-bintik merah terlihat hampir di semua bagian tubuhnya. Ia membalikan badan, dan berjalan mundur sambil melambaikan kedua tangannya ke semua penonton yang ada di sana. Ia tersenyum, dan gigi-giginya yang terawat dengan baik terlihat dengan cukup jelas.

“Aku akan berhasil! Aku akan membawa naik harta itu!”

Dan suasana tempat itu pun seketika riuh dengan tepuk tangan. Si lelaki tertawa lebar, dan kemudian membalikan badan, lalu berhenti di ujung jembatan kayu. Permukaan danau itu bergolak-golak, sinar matahari sore memantul di permukaan danau, menciptakan warna keemasan. Si lelaki menunduk, dan memperhatikan wajahnya sendiri dalam permukaan danau. Sebuah gerakan yang entah tercipta oleh apa menimbulkan gelombang kecil yang membuat bayangan si lelaki seketika sirna.

Si lelaki mengatur napasnya. Tarik. Embus. Tarik. Embus. Suara riuh sebelumnya telah berganti senyap. Dan setelah mengambil satu tarikan napas panjang, ia melompat.

“Dia benar-benar melakukannya.”

“Hahaha …. Tentu saja. Kan sudah kubilang, dia itu gila! Sekarang kita hanya perlu menunggu warna danau ini berubah menjadi merah.”

“Ap—apa … maksudmu?”

“Ya … kurasa kau pun mengerti maksudku. Eh, kau bukan dari kota ini, ya?”

Pemuda itu menggeleng.

“Baiklah, akan kujelaskan. Menurut kabar, ada harta di dasar danau itu. Harta yang sangat banyak! Namun, sayangnya, di danau ini banyak terdapat buaya.

“Apa? Lantas kenapa kalian diam saja melihat dia melompat ke danau itu? Kenapa tidak mencegahnya?”

“Hahaha … untuk apa? Dia sudah memutuskan seperti itu, ya, biarkan saja. Lagipula ….”

“Lagipula, apa?”

“Ya, sejujurnya, aku memerlukan hiburan.”

Pemuda itu menelengkan kepala. Lelaki di sebelahnya tergelak melihatnya.

“Hahaha … dengar! Aku tidak sendiri. Semua orang di kota inu memerlukan itu. Kau lihat lelaki yang di sana itu, yang memakai rompi memancing dan mengenakan topi coklat? Dia pun mengharapkan hal yang sama. Juga perempuan di sana itu, kau tahu, dia bertaruh 50 dollar untuk kegagalan si Lelaki.”

“T-tunggu … dari mana kau tahu bahwa perempuan di sana bertaruh 50 dollar?”

“Ya, well, aku bandarnya.”

Seorang pemuda lain menepuk bahu si Bandar. Si Bandar menoleh. Dan, dengan senyum hangat yang memang tidak dibuat-buat, ia merangkul bahu si penepuk dan membawanya menjauh dari tempat itu. Pemuda yang sebelumnya mengobrol dengan si Bandar hanya terlongo melihatnya.

Tidak lama berselang, seperti yang sudah bisa ditebak, dan memang yang kebanyakan orang harapkan, warna danau itu berubah merah. Sebagian penonton bertepuk tangan. Sebagian yang lain mengumpat kesal.

Sahabat si lelaki menunduk dan memijiti keningnya sendiri. Satu per satu penonton yang ada di sana mulai pergi. Dan kini hanya tinggal si sahabat seorang diri.

“Ya, paling tidak, dia sudah menunjukan kepada semua orang bahwa dia berani melakukannya. Baginya, mungkin itu penting.”

Ia tersenyum dan memandang warna merah pada permukaan danau yang keemasan. Kemudian, ia mendengus seraya mengangkat kedua bahunya. Tertawa samar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lalu membalikkan badan, dan kemudian pergi. Langkahnya terhenti ketika tangan kanannya yang masuk ke dalam saku celana menyentuh sesuatu yang keras. Ia mengambilnya dan mengangkatnya sebatas mata. Sebuah kalung milik si pelompat. Ia ingat, dulu ia sangat menginginkan kalung itu. Kalung sederhana dengan bandul menyerupai cincin.

“Kau hanya bisa memiliki kalung ini jika aku sudah mati.”

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak