MInggu 11 Olihn

Kamisan S3 #11: Lebah Hitam

15.26Unknown

Sebatang anak panah melesat cepat dan hampir mengiris telinga kirinya, andai saja Theo tidak terpeleset dan jatuh berguling-guling di rerumputan. Puluhan anak panah lain segera menyusul satu per satu, dan Theo, dengan kecemasan yang memuncak, hanya sanggup terduduk dan memandang mata anak-anak panah itu berkilat tatkala tertimpa cahaya rembulan, yang semakin dekat, lebih dekat.

Silakan kembali mengambil napas, karena kejadian itu masih akan terjadi nanti. Tepatnya, tiga hari setelah hari ini. Sekarang, alangkah baiknya, terlebih dahulu kita mengunjungi Negeri Peri. Negeri di mana tokoh utama kita ini tinggal.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan mengenai negeri yang penghuninya merupakan mahluk-mahluk mini tersebut, selain seperti yang pernah kalian dengar: sebuah negeri yang hijau, subur, kaya akan sumber daya alam, dan seterusnya, dan seterusnya. Akan sangat membosankan bila saya kembali menceritakan sesuatu yang pernah kalian dengar, bukan? Maka kita lewati saja bagian pengenalan semacam itu.

Langsung saja ….

“Joanne …! Di mana kau?” Theo melompat ke tangkai bunga mawar yang melengkung. “Joanne …!”

Sepuluh kaki-ukuran-peri di atasnya, tersembunyi rerimbun tangkai mawar, gadis yang dicarinya tertawa tertahan sambil terus memandang sahabatnya yang tengah mencarinya lewat celah di antara tangkai-tangkai itu. Joanne duduk dengan santainya di atas tangkai yang melengkung, kedua kakinya berayun-ayun dengan anggun. Rambut merahnya menari-nari ketika angin lewat dan membisikan kepada Theo letak keberadaan dirinya. Ia sadar akan hal itu, tetapi ia tidak lari atau bersembunyi. Ia tetap duduk dan tersenyum dan menunggu sahabatnya itu menemukannya.

“Lama sekali kau baru bisa menemukanku,” kata Joanne sesaat setelah Theo muncul.

“Bukan salahku. Aku bahkan tidak bisa mencium aromamu seandainya saja angin tidak membawanya kepadaku. Aroma tubuhmu sangat mirip dengan mawar. Bedanya, ada sedikit aroma manis dalam tubuhmu.” Joanne tersenyum mendengar penjelasan sahabatnya. “Nah, sekarang, turunlah!”

“Tidak. Aku masih ingin duduk di sini.”

“Ayolah, jangan bercanda! Kau tahu itu berbahaya. Turun dan akan kuantar kau pulang.”

“Aku tidak mau. Lagipula, aku tahu aku akan baik-baik saja di sini.”

“Aduh! Kau ini … Dengar, berhentilah bermain-main! Negeri ini sedang tidak aman. Apa kau lupa yang dikatakan Peri Kabar kemarin. Lebah Hitam akan melakukan invasi ke negeri ini karena kita memenjarakan salah seorang warga mereka yang membunuh, seminggu yang lalu. Ya, aku tahu. Peri Perbatasan akan sanggup menghalau mereka … tapi untuk berjaga-jaga saja, kalau-kalau Lebih Hitam lebih kuat dari perkiraan.

“Ayolah, cepat turun.”

“Tidak mau.”

“Aduh, kau ini!”

Dan tepat setelah itu, ketenangan di taman bunga itu berubah menjadi keriuhan. Ratusan Lebah Hitam terbang rendah di atas bunga-bunga Mawar, menciptakan kebisingan yang berasal dari kepak sayap-sayap mereka—juga kata-kata pembakar semangat yang mereka teriakan berulang-ulang.

Tatapan mata Joanne yang membesar terus memerhatikan pasukan itu sambil menarik kedua kakinya dan bersembunyi serapat mungkin dengan batang mawar. Ia hampir berteriak saat tiba-tiba sesuatu menyentuhnya dari arah belakang, dan suara teriakannya itu tentu akan terdengar jika saja Theo tidak segera menutup mulut Joanne dengan telapak tangannya. “Sssttt … ini aku. Tenanglah,” katanya, sambil kembali memandang ke segerombolah Lebah Hitam yang terbang dua puluh kaki-ukuran-peri dari dirinya berada. “Sekarang sudah terlambat. Sangat berbahaya jika kita pulang ke rumah sekarang. Yang paling baik adalah tetap tersembunyi.”

Joanne menangguk-anggukan kepala dengan kaku. Matanya mulai berkaca-kaca. Mulutnya membuka dan ia menekankan punggung tangan kanannya ke dalamnya. “Ssttt … tenanglah. Semua akan baik-baik saja, seperti katamu. Ada aku di sini.”

Belum genap satu tarikan napas setelah ia mengatakan itu, seekor Lebah Hitam tiba-tiba muncul di hadapannya, menyeringai, mengucapkan “Halo … “ dengan perlahan. Dan tanpa membuang waktu, Theo menarik Joanne dan berlari menjauhi mahluk hitam itu.

“Ada 2 peri yang sedang bermain di sini, Teman-teman! Kemarilah!” teriaknya, “Mari kita buat permainan mereka lebih seru.” Dan ia kembali menyeringai.

Theo terus berlari dan berlari. Di belakangnya, Joanne terus mengikuti sambil terus menyumpal mulutnya agar tidak menangis. Daun-daun Mawar beberapa kali menampar tubuh mereka, tetapi mereka terus berlari. Yang terdengar kemudian adalah tawa membahana, isakan, ratapan … Joanne dan Theo terkepung dan mereka benar-benar tidak bisa melakukan apa pun.

“Bagaiman teman-teman. Kita apakan mereka?”

“Bunuh saja. Tidak ada gunanya membiarkan mereka hidup.”

“Ya, bunuh saja.”

“Ya, setuju. Bunuh saja.”

“Baiklah, jika kalian sudah memutuskan.” Dan Lebah Hitam yang pertama kali menemukan mereka berjalan mendekat dengan perlahan ke arah mereka.

“Tunggu. Jangan dibunuh.” Seekor Lebah Hitam tiba-tiba angkat bicara. “Aku punya ide yang lebih baik.” Lebah Hitam yang tengah berjalan berhenti dan kemudian menoleh. “Kita jadikan saja salah satunya menjadi tawanan untuk kemudian kita tukar dengan teman kita yang mereka tangkap. Penyerangan ini, aku rasa tidak akan menghasilkan apa pun. Terlebih, pasukan kita tinggal tiga-perempatnya dan kita semua kelelahan. Kita bawa salah salah satunya dan biarkan yang lainnya melapor kepada raja.”

Usul itu tidak langsung diterima. Terjadi perdebatan terlebih dahulu yang pada akhirnya semua sepakat untuk menyetujui saran tersebut.

“Baiklah, kita bawa anak perempuan ini dan biarkan yang satunya melapor kepada raja. Kau paham, Bocah, laporkan kepada raja persis apa yang kaudengar tadi!”

Segera setelah itu, gerombolan Lebah Hitam terbang kembali ke negerinya. Negeri yang jauhnya 3 hari perjalanan bagi peri dengan berjalan kaki 
 
 Photo published for Kamisan #11 Session 3 : Lukisan Bianca

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak