Aku dan Athalla sering kali bermain-main jauh dari dunia tempat kami
tinggal sehari-hari. Tidak. Kami tidak pergi jauh menyebrangi sungai
atau masuk ke dalam rimba hutan. Bukan karena aku penakut. Oh tentu
bukan itu alasannya. Tetapi ini semua karena Yona. Perempuan berhidung
dan bibir lancip yang menjadi ibu tiri kami. Sumpah dewi segala yang
tumbuh di atas tanah desa kami, dia satu-satunya ibu yang tak
mengizinkan anak-anaknya berbahagia. Tidak! Jika itu yang
kaupikirkan tidak. Tentu saja tidak. Aku tidak mengada-ada atau pun
berlebihan. Yona memang seperti itu. Misalnya saja, dia tak pernah
mengizinkanku bermain bersama teman-temanku meski aku sudah
menyelesaikan tugasku: membersihkan sekaligus memberi makan domba-domba
dan kuda kami, menyampu daun-daun menumpuknya di pinggir halaman,
membersihkan kaca-kaca.
Tak sekali pun Yona mengizinkanku meninggalkan tugas-tugas itu. Tidak juga di hari libur.
Adikku Athalla. Ia anak manis yang penuh senyuman.
Sungguh, ia terlihat manis di atas bentuk wajahnya yang tidak umum. Yang
membuat adikku berbeda hanya posisi mata kirinya tidak sejajar dengan
letak mata kanannya. Athalla juga tidak memiliki alis. Rambutnya hanya
tumbuh sepanjang jari tangan. Yang membuatnya sama dengan anak lainnya
adalah rambutnya yang berwarna merah. Seperti rambutku. Seperti rambut Yona.
Oh ya, aku lupa menceritakan tentang ayahku. Ia bernama Tara. Ia
adalah tukang sulap paling menawan di seantero pulau. Di antara pesulap
dan pekerja-perkerja sirkus lainnya. Bersama rombongannya ayah
menjelajah dari satu tanah lapang ke tanah lainnya. Menghimbur,
memainkan trik dan menimbun pundi-pundi uang untuk dibawa pulang. Kerena
itu ayah sering berpergian membuatnya tahu apa-apa dibalik senyum dan
elok wajah yang selalu ayah lihat di wajah Yona ketika pulang. Ayah pasti berpikir Yona merawat aku dan Athalla dengan baik.
Perihal ibuku. Orang-orang yang pernah menonton sirkus selalu
menyebutnya Peri Vidia. Vidia adalah namanya. Embel-embel peri ia
dapatkan karena selalu berkostum peri ketika sedang melakukan atraksi.
Melayang, terbang di ketinggian dengan tubuhnya yang lentur dan ringan.
Namun, hari nahas itu rupanya telah menunggu begitu tabah. Athalla baru
berusia tiga bulan di kandungan ibu ketika ia jatuh tersungkur saat
berlatih atraksi-atraksi ringan. Ibu dan kandungannya baik-baik saja
tetapi ketika melahirkan barulah kerusakan itu terlihat. Tetapi
nahas itu rupanya masih berlanjut. Setelah menyusui Athalla.
Anak-beranak itu tertidur hanya bedanya, ibu tak pernah membuka matanya
lagi.
Aku tak ingin mengisahkan bagaimana ayahku bisa menikahi Yona. Aku
tidak punya waktu untuk itu sebab sekarang waktunya aku mengajak Athalla
bermain. Kalian lihatlah baik-baik. berdirilah di tepi jendela, tetapi
jangan menghalangi cahaya masuk dari sana.
Lihatlah, wajah adikku yang ceria. Ah, aku lupa
mengatakannya. Adikku tidak bisa bicara, kalau kalian ingin bicara
dengannya gunakan tangan kalian. Buatlah isyarat-isyarat maka ia akan
mengerti. Begitulah aku selama ini berkomunikasi dengannya.
“Lihatlah, Athalla, dinding-dinding di sekitarmu dipenuhi sulur-sulur
kembang sepatu. Warna bunganya sama persis dengan rambut kita,” aku
menggerak-gerakan tangan ke seluruh penjuru dinding. Athalla mengerti.
Ia mengikuti ke mana tanganku mengarah. Perlahan-lahan dinding kamar
dirambati batang-batang besar berwarna hijau. Kursi tempat Athalla duduk
menghilang berganti dengan bantalan empuk batang kayu. Perlahan,
perubahan juga terjadi pada wajah Athalla. Suaranya keluar dengan normal
dan tawanya renyah memenuhi ruangan. Rambut merahnya pun tumbuh lebih
panjang.
Harusnya pohon-pohon itu tak tumbuh melebihi luas ruangan. Biasanya begitu. Entah
bagaimana kali ini, batang-batang pohon itu tak hendak berhenti tumbuh.
Mereka terus naik, menembus atap. Aku memanggil-manggil nama Athalla.
Memasang telinga berharap menangkap suaranya. Tetapi tak ada. Athalla
menghilang bersama sulur-sulur kembang sepatu yang tumbuh jauh menembus
langit.
19:37
180615
0 comments