Saat itu malam terlihat sangat indah. Bintang bertaburan
berkelap-kelip di angkasa, bulang bersinar dengan Sangat terang,
purnama. Hewan-hewan dan alam seakan khidmat berdoa. Kekuatan doa dan
harapan bersatu membuat alam yang nampak biasa saja menjadi begitu luar
biasa.
Tapi itu tidak terjadi di kerajaan Devanagari, Raja sedang gundah
hatinya. Entah karena apa. Wajah muramnya semakin terlihat jelas ketika
memasuki kamar dan mendapati Permaisurinya sedang menikmati pemandangan
indah di langit sana. wajah Sang Raja yang tersinari rembulan semakin
menyiratkan ia sedang ingin bercerita banyak dan dihibur. Sang Ratu yang
menangkap gelagat itu segera tersenyum menyingkirkan wajah khawatir.
“Ada apa suamiku? Mengapa kau begitu murung justru di malam yang begitu cerah ini?”
“Entahlah, mungkin karena kasus siang tadi”
“Tentang pertentangan beberapa warga yang bersengketa soal tanah mereka?”
“Iya, juga masalah pengaduan seorang budak yang ingin upah lebih pada
majikannya. Aku sedang berpikir, mengapa hidup manusia begitu rumit.
Kau lihat semut, kau tataplah anjing, kau amatilah singa, juga
hewan-hewan lain. Hidupnya tidak serumit manusia, tidak perlu bekerja
untuk sekedar makan, mereka tak menimbun kekayaan, mereka berkoloni
berkumpul tapi tidak berselisih masalah politik yang begitu licik dan
beracun. Sedangkan manusia, kami untuk makan sehari-hari harus bekerja
untuk mendapatkan upah, baru bisa makan itu pun harus melewati proses
panjang soal masak-memasak”
Raja mendesah panjang, ia berangsur ke ranjang dan berbaring, tapi
matanya tak dapat terpejam. pikirannya melayang-layang. Biarpun
kegundahannya berhasil ditumpahkan, sungguh ia masih membutuhkan
obatnya. Bukankan luka akibat gigitan ular berbisa juga masih
membutuhkan obat biarpun racun sudah berhasil dikeluarkan?
Permaisuri yang paham keadaan ini segera mengikuti Raja di tempat
tidur, ia dengan setengah berbaring di samping Raja menatap wajah Sang
Raja dalam-dalam.
Sang Raja menatap bingung kelakuan istrinya, “Ada apa? Apa ada yang salah dengan pikiranku?” tanyanya kemudian.
Permaisuri tersenyum lalu berkata, “Tidak, aku juga berpikiran sama belakangan ini”.
“Benarkah?” kata Sang Raja agak terkejut, “Syukurlah, aku tidak gila sendirian malam ini” lanjutnya lalu tertawa geli.
“Manusia perlu memasak makanannya, sedang hewan tidak. Manusia perlu
beradaptasi dimanapun ia berada, mudah bersitegang dengan manusia
lainnya, padahal sesama. Sedang hewan, mereka biasa bertengkar jika
bertemu dengan pemangsa atau hewan jenis lain yang mengganggunya” kata
Permaisuri.
“Ahh, kau tidak memberikan jalan keluar, malah menyesatkan pikiran” kata Sang Raja sambil tertawa.
“Tapi ada satu hal, apa kau pernah berpikir kenapa kebanyakan manusia
menikmati malam? Maksudku, kenapa manusia menyukai hal-hal yang
berkaitan dengan bintang, planet, luar angkasa dan alam semesta?” tanya
Permaisuri tiba-tiba.
Sang Raja tampak berpikir, tak lama ia menjawab, “Hmm, kurasa tidak
selalu begitu, mungkin sebenarnya manusia hanya tertarik mempelajari
hal-hal yang tidak diketahuinya, dan kurasa itu yang membedakan kita
dengan makhluk lainnya, atau kau ada ide lainnya?”
Permaisuri tersenyum, lalu berkata “Itu benar, tapi ada pertanyaan
yang menggelitik benakku, bagaimana jika sesungguhnya manusia bukanlah
makhluk asli planet bumi? Maksudku dulu manusia tinggal entah di planet
mana, galaksi yang entah di mana, lalu tiba-tiba datang ke bumi dan
tinggal di sini”.
Senyum Permaisuri yang menggoda membuat Raja kesal, senyumnya itu biasa muncul ketika akan menceritakan sesuatu yang menarik.
“Hmm, sudah ceritakan saja. Jangan membuatku penasaran”
Senyum Permaisuri makin lebar, penuh kemenangan, lagi-lagi ia berhasil menggoda suaminya.
*
Dulu kala, bumi terdiri dari satu daratan yang Sangat luas, dan
samudera lepas di sekelilingnya. Bumi Sangat indah waktu itu. Hutan yang
luas, bukit bunga dimana-mana, udaranya bersih, matahari tak terlalu
panas, juga tak terlalu dingin. Lautan yang bersih, pantainya yang
indah, benar-benar kondisi yang tidak pernah dibayangkan manusia
manapun.
“Apa kau sedang menjelaskan tentang surga?”. Sela Sang Raja.
“Sebentar baginda biar aku bercerita dulu”.
Bumi awalnya dihuni hewan-hewan. Keadaan Sangat damai, sampai
kemudian para dewa tiba-tiba memutuskan bangsa jin dan iblis diturunkan
di bumi ini. Jin Sangat jenius, Iblis Sangat licik, keduanya haus
kekuasaan. Jin menguasai daratan sedang iblis berada di lautan.
Penaklukkan-penaklukkan pun terjadi, sampai kemudian jin menjadi satu
keRajaan utuh dan menguasai semua daratan, sedangkan iblis menguasai
seluruh lautan.
Semuanya kembali wajar setelah Ratusan tahun. Sampai kemudian iblis
berkeinginan menguasai daratan juga. Ia jin yang mengetahui hal ini tak
terima, ia berusaha mempertahankan daratan dengan balik menyerang dengan
segenap kekuatan.
“Ada salah satu teknik Sun Tzu yang menjelaskan ini, serang dulu ketika ada kesem…”
“Sssttt, diamlah, atau aku tidak lanjutkan ceritanya” ujar Permaisuri memotong kalimat suaminya.
“Iya, maaf”.
Perang besar pun terjadi, ada yang bilang ini ragnarok. Bumi menjadi
hancur, kekeringan di sebagian wilayah, sedang di wilayah lain justru
terserang bajir hebat. Hewan-hewan banyak yang mati. Korban berjatuhan
dimana-mana. Perang ini seakan tak memiliki akhir. Kehancuran demi
kehancuran terus terjadi. bumi mengalami masa kegelapan. Dan tidak layak
untuk ditinggali.
Sementara itu para dewa yang jadi gelisah karena perbuatan jin dan
iblis mengadakan pertemuan besar-besaran di cincin saturnus. Keputusan
membulat, bahwa perbuatan para jin dan iblis itu tidak bisa dibiarkan,
akhirnya diutuslah dewa kematian untuk mencabut seluruh nyawa jin dan
iblis tersebut.
Malam itu, ketika seluruh jin dan iblis tertidur, ketika bumi yang
meradang sedang sunyi. Datanglah dewa kematian. Sayapnya yang begitu
besar hampir menutupi seluruh permukaan bumi. Ia berdiri di tumpukan
mayat-mayat korban perang sambil memegang tongkat dengan ujung pedang
lengkung yang besar dan panjang. Rantainya dari api terikat dengan kuat
di sabuk dan melingkar di tangannya. Sejenak ia menatap sekitar, Menatap
mayat-mayat itu. Lalu tiba-tiba dengan sekali hentak, sayapnya yang
begitu lebar itu memecah menjadi ribuan bahkan jutaan bulu hitam, yang
bertaburan terbang ke seluruh penjuru mata angin, mencabut nyawa setiap
jin dan iblis yang dihampirinya. Ketika fajar menyingsing di ufuk timur,
dewa kematian telah selesai menunaikan tugasnya dan kembali ke
keRajaannya. Bumi kembali senyap, sepi, hanya ada hewan-hewan tak
berdosa dan tumbuhan-tumbuhan yang sekarat.
*
Sementara di planet lain, sebutlah namanya galaksi Exelibrium, juga
sedang terjadi perang besar-besaran sesama makhluk. Di sana peradaban
begitu berkembang pesat, perang teknologi. Sebagian kecil penduduknya
memutuskan mencari tempat tinggal lain di planet lain di luar galaksi
itu. Dari pengamatan, akhirnya mereka menemukan bumi. Saat melihat bumi
mereka sadar bahwa yang mereka lihat saat adalah kondisi bumi ribuan
tahun sebelumnya.
“Kenapa bisa begitu?” Raja bertanya tiba-tiba.
“Karena jaraknya ribuan tahun cahaya baginda, ketika kau menatap
bintang di luar sana, bisa jadi cahaya yang kau lihat itu adalah cahaya
delapan ribu tahun yang lalu. Bukankah ketika kau menatap matahari,
matahari yang kau lihat saat itu adalah matahari delapan menit yang
lalu?” Jelas Sang Permaisuri.
“Hmm, menarik”.
“Kau mau aku melanjutkan cerita atau menanggapi pertanyaanmu?”.
“Iya iya, aku diam”.
Ratusan tahun setelah pembersihan, makhluk dari galaksi Exelibrium
itu mendarat di bumi. Mereka benar-benar terkejut sekaligus kecewa
karena kondisi bumi jauh dari yang mereka harapkan. Bumi berantakan. Tak
layak untuk dihuni makhluk hidup. Bumi yang telah porak poranda Sangat
tidak mungkin untuk diselamatkan jika hanya beberapa makhluk saja yang
memperbaiki.
Tapi makhluk-makhluk Exelibrium ini tetap bertekad memperbaiki
kondisi bumi, dengan berbekal pengalaman dan kecerdasan mereka. Para
dewa yang menginginkan perubahan pada bumi melihat kesempatan baik ini,
lalu membantu perbaikan. Puluhan sampai ribuan tahun mereka melakukan
perbaikan. Mereka berkoloni, membangun peradaban baru, berkembang biak.
Beberapa dewa ada yang memutuskan pulang ke tempatnya ketika tugasnya
usai, tapi ada pula yang memutuskan untuk tinggal di bumi.
Tanpa mereka sadari, ternyata tidak semua jin dan iblis mati saat
pembersihan Ratusan tahun yang lalu. Dulu ketika pembersihan dilakukan,
beberapa jin dan iblis ada yang sempat bersembunyi di palung-palung
lautan terdalam, sudut-sudut hutan, dan reruntuhan puing-puing bangunan,
mereka bersembunyi di tempat-tempat yang tidak terjamah bulu pencabut
nyawa. Mereka menyamar agar dapat bergabung dengan koloni dan kelompok
yang telah dibuat, ada yang menjadi bagian-bagian dari makhluk
Exelibrium, ada yang menyamar menjadi dewa. Tanpa disadari para makhluk
Exelibrium dan para dewa, iblis dan jin ini telah berkembang biak dan
tumbuh bersama mereka, tidak hanya hidup berdampingan tapi juga menjadi
satu dalam sel-sel dan darah mereka.
Peradaban maju pesat, teknologi berkembang berkat kejeniusan makhluk
Exelibrium dan para jin. Namun sayang sifat-sifat buruk jin dan iblis
ini tidak berubah, mereka selalu ingin berkuasa dan rakus atas lainnya.
Seperti bom waktu, tanpa ditunggu, akhirnya meledaklah kembali perang
besar yang menyebabkan daratan terpecah menjadi beberapa bagian.
Kali ini para dewa tidak ingin menunda-nunda waktu lagi, mau tidak
mau pembersihan harus kembali dilakukan. Sebelum semuanya terlambat dan
bumi tak bisa diselamatkan. Rapat para dewa segera kembali digelar, kali
ini yang ditugaskan untuk turun ke bumi tak hanya dewa kematian. Ia
akan dibantu dewa air, tanah, api, dan angin. Mereka bersama-sama
menenggelamkan peradaban kaum-kaum itu dengan air, lalu membalik bumi,
bagian dalam jadi luar dan luarnya dibalik di dalam. Gunung-gunung
memuntahkan lahar panasnya, badai dimana-mana, dalam sekejap peradaban
dan teknologi yang begitu canggih dihancurkan, dan dewa kematian kembali
mencabut setiap nyawa.
Ketika kembali ke kahyangan, dewa kematian mengambil sedikit
sisa-sisa dari jasad yang ia ambil nyawanya dan mencampurnya dengan
sedikit tanah di bumi, kemudian ia bawa ke hadapan para dewa. Para dewa
dengan segala kekuatan akhirnya membentuknya menjadi makhluk baru.
setelah sempurna bentuk tubuhnya mereka membawa ke hadapan cahaya agung,
agar disinari. Tubuh patung itu pun menjadi hidup dan memiliki sebagian
kekuatan dewa.
Sang Brahman pemimpin para dewa yang dianggap memiliki kekuatan
tertinggi melemparkan makhluk itu dengan sekuat-kuatnya ke bumi. Bumi
bergetar dengan Sangat keras, hingga daratan yang awalnya terpecah
menjadi lima bagian besar, terpecah lagi menjadi bagian-bagian kecil.
Makhluk baru itulah cikal bakal manusia, ia memiliki kekuatan, kebaikan,
dan kebijaksanaan para dewa, kecerdasan makhluk galaksi Exelibrium dan
jin, juga segala kerakusan dan sifat jahat iblis.
Makhluk ini dibantu para binatang untuk (lagi-lagi) memperbaiki bumi.
Ribuan tahun berlalu, bumi kembali menjadi nyaman untuk dihuni, ia
merasa betah di sini. Ia ingin tinggal di sini selamanya. Tenang, damai,
dan segala hal yang dinginkannya tersedia.
Raja mengerutkan kening, “Apa kau bercerita soal Adam?”.
Permaisuri tak menjawabnya hanya menatap Sang Raja itu sambil terus diam.
Seolah paham, Raja lalu mendesah dan berkata “Ah iya iya, baik, aku diam, lanjutkan ceritanya”.
Tapi makhluk itu kesepian, ia memohon pada dewa agar diberikan
pasangan. Para dewa mengabulkan permintaannya. Dewa kematian
menjemputnya untuk kembali ke kahyangan. Di sana para dewa membelahnya
jadi dua bagian yang berbeda dan saling berkaitan satu dengan lainnya.
Sejak itulah makhluk itu disebut manusia, laki-laki dan perempuan. Dan
karena dewa kematian yang membawa zat asal pembentuk manusia itu dari
bumi maka ia pula yang bertugas menjemputnya kembali ketika manusia itu
mati.
Sayangnya karena sifat-sifat buruk dari makhluk-makhluk sebelumnya
menjadi satu dengan sel manusia maka para dewa memaklumi jika terjadi
perang dan perebutan kekuasaan. Mereka yakin jika sifat jahat saja bisa
timbul, maka sifat baiknya juga pasti muncul. Jika salah satu manusia
atau sekelompok manusia hanya memiliki sifat jahat, maka di tempat lain
akan ada dan selalu ada manusia-manusia lainnya dengan sifat baik yang
mengimbangi. Keduanya tak akan pernah hilang sama sekali.
*
“Sudah, lagipula ini sudah hampir pagi, dan aku sudah mengatuk” kata
Permaisuri membetulkan letak duduknya dan mengambil posisi tidur.
“Aku masih penasaran dengan kelanjutannya” kata Sang Raja keberatan.
“Besok suamiku, akan aku lanjutkan kisahnya, sekarang tidurlah. Dan
ingat satu hal, saat tergelap saat malam hari adalah ketika menjelang
fajar” Kata Permaisuri kemudian memejamkan mata.
“Hmmm, baiklah”
*
0 comments