Ketika keberuntungan datang dengan beruntun, itu sebenarnya adalah
satu pertanda. Bahwa kamu harus selalu waspada, agar tidak ceroboh
hingga mengubah keberuntungan itu menjadi kesialan. Seperti yang
kualami. Aku seorang pemuda yang bercita-cita menjadi penyembuh,
sayangnya di negeriku ini, jarang ada penyembuh atau lebih dikenal
sebagai tabib yang masih muda. Rata-rata mereka sudah tua, sedangkan
para penyembuh yang masih muda sering dipandang sebelah mata. Selain
aku, banyak tabib muda lainnya yang sesungguhnya amat berpotensi bila
saja dipercaya oleh kerajaan. Sehingga bisa membuka praktek pengobatan
sendiri. Tapi itu jarang, sangat jarang bahkan hampir mustahil.
Suatu hari raja sedang sakit keras, karena tabib istana tak mampu
menyembuhkan, akhirnya dibuat sayembara berhadiah lumayan besar 200
keping emas. Namun persyaratannya cukup susah, hanya tabib yang sudah
memiliki ijin tertulis resmi dari istana yang boleh mengikuti. Sedangkan
tabib-tabib muda sepertiku dan yang tidak resmi tak bisa mengikuti. Aku
memakluminya sebagai kewaspadaan pengawal istana akan keselamatan raja,
karena pangeran muda masih terlalu kecil untuk menggantikan apabila
raja tiba-tiba meninggal.
Aku tak bisa turut serta dalam sayembara itu, tapi aku selalu
mengikuti perkembangan beritanya. Ternyata yang berpartisipasi bukan
hanya dari tabib dalam negeri, para kerabat luar istana yang kerajaannya
lama bersahabat dengan kerajaan kami pun turut serta. Mereka
mengirimkan tabib-tabib dan ahli pengobatan terbaik yang dimiliki. Sudah
sebulan sayembara itu berjalan, tapi tak juga menunjukkan tanda-tanda
yang bagus, malah semakin suram.
Aku yang dari awal memang berniat berpartisipasi pun semakin tak
sabar dan khawatir dengan kesehatan paduka raja. Siang itu aku berusaha
mengorek informasi di pasar yang biasa dilewati orang-orang ketika
keluar masuk kota, berharap menemukan informasi yang kubutuhkan, sakit
apa yang diderita, sejak kapan ia sakit, sebab ia terkena penyakit, lalu
obat macam apa saja yang sudah diberikan dan efek apa saja yang sudah
ditimbulkan.
Beruntung, setelah dua hari aku berjalan berkeliling pasar, aku
bertemu dengan seorang tabib dari luar kota yang gagal mengobati Sang
Raja. Aku mewawancarainya macam-macam dan saat ia bertanya mengenai
identitasku aku menghindar dan berhasil menyembunyikannya. Aku kembali
ke gubuk tua istanaku di tengah hutan. Membuka-buka kitab pengobatan
kuno, berharap menemukan setitik cerah di sana.
Seharian aku menjelajahi seluruh kitab yang ada di perpustakaanku.
Entah, penyakitnya aneh, awalnya gatal-gatal di sekujur tubuh kemudian
malamnya meriang disertai panas tinggi, bentol-bentol di sekujur
tubuhnya terasa sakit, dari awal sampai sekarang beliau masih belum bisa
makan aneh-aneh, selalu dimuntahkannya kembali dan di kepalanya seperti
ada borok yang bernanah dan mengeluarkan bau busuk.
Penyakit aneh, apakah paduka raja terkena guna-guna? Entahlah.
Sudah hampir memasuki bulan kedua sejak diadakannya sayembara dan
hadiah pun ditambah menjadi 500 keping emas. Satu yang kusesalkan,
mereka tak juga membuka diri untuk memberi kesempatan pada tabib-tabib
muda sepertiku.
Ketika memikirkan hal itu, aku teringat catatan harian tua milik
guruku yang ditinggalkannya untukku saat beliau meninggal. Aku segera
berlari menuju kamar, membuka sebuah peti tua dan membongkar isinya.
Debunya bertebaran kemana-mana hingga membuat dadaku sedikit sesak.
Pencarian itu tak sia-sia. Aku membuka buku itu membacanya satu persatu
dan mempelajari ulang, bagaimana dulu guru selalu berhasil menyembuhkan
pasien yang bahkan penyakitnya masih sangat asing. Sepertinya
pencarianku berbuah hasil. YES!! Ada! Benar! ada obatnya!!
Aku buru-buru membawa resepnya ke laboratorium, mencari semua
perlengkapan yang dibutuhkan dan juga tanaman-tanaman obat yang harus
disediakan. Ah untunglah, semua ada di rumah obatku. Ya, aku memiliki
rumah obat, jadi semua tanaman yang bisa kugunakan untuk obat-obatan
kutanam kembali di pot dan kukumpulkan di sebuah pondok yang lumayan
luas, dengan pencahayaan matahari dan air yang cukup aku merawat
semuanya. Jadi bila ada resep yang membutuhkan tanaman-tanaman khusus,
aku tak perlu lagi repot-repot mencarinya sampai ke tengah hutan seperti
dulu.
Semua bahan yang ada kutumbuk jadi satu dan memasaknya disebuah
tungku pembakaran. Semua ramuan itu harus dimasak selama 30 jam, tidak
kurang juga tidak boleh lebih. Diakhir setelah semuanya selesai ramuan
itu harus dicampur satu tanaman lagi yang berfungsi sebagai pengering
luka. Nantinya daun dari tanaman ini juga ditumbuk dan dioleskan ke
kepala baginda raja, agar luka korengnya mengering.
Ahh, ternyata sudah hampir malam. Sambil menunggu ramuan selesai, aku memutuskan mengunjungi istana, mencoba membuat penawaran.
Hatiku benar-benar bangga, belum pernah aku sebahagia ini sebelumnya,
langkahku terasa ringan dan tenang. Sampai di istana dengan ragu-ragu
pengawal mempersilahkanku masuk ke ruangan raja.
“Apa keperluanmu wahai anak muda?” tanya penasihat kerajaan.
“Aku hendak menawarkan obat yang sangat mujarab untuk sakit yang diderita baginda raja” jawabku.
Penasihat tua itu mengelus jenggotnya sambil menatap raja, “Kau tahu
persyaratan mengikuti sayembara ini bukan? Hanya untuk tabib yang sudah
berpengalaman dan memiliki sertifikat resmi, sehingga jika gagal dan
membahayakan paduka raja mereka ada jaminan sebagai konsekuensi
pertanggung jawaban perbuatan mereka yaitu dicabutnya ijin praktek
pengobatan selamanya” kata penasihat tua itu, sombong.
Aku mendongakkan sedikit kepalaku menatap dua orang di depanku itu,
lalu berkata “Hamba memang belum memiliki sertifikat itu tuanku, maka
dari itu hamba kemari untuk mengajukan penawaran”.
“LANCANG!” bentak penasihat tua itu. “Memangnya siapa dirimu berhak
mengajukan tawar menawar atas keselamatan raja?!” katanya sambil melotot
ke arahku.
Baginda raja lalu memegang tangannya dan berkata “Biar anak muda ini
mencobanya, apa penawaran yang kau ajukan?” terdengar lebih bijak
daripada penasihatnya.
“Hamba tidak menginginkan emas tuanku, tapi hamba hanya ingin sertifikat ijin membuka praktek pengobatan di kota”
“Hmm, baiklah akan kukabulkan permintaanmu, kapan kau akan mulai mengobatiku?”
“Besok, besok sore tuanku, hamba akan datang kesini dan mengobati tuanku”.
“Baik, akan kutunggu janjimu, tapi jika janjimu meleset atau
penyakitku tak juga sembuh, maka kepalamu akan terpasang di balai kota
sebagai pertanda bagi siapa saja yang coba melakukan tawar-menawar
dengan raja”.
DEG. Aku terkejut, menelan ludah dan meraba leherku. Tapi karena
keyakinan pada ramuanku juga resep guru yang tak mungkin diragukan lagi
itu membuatku mengangguk, mengiyakan. Dengan langkah senang sekaligus
bercampur takut aku melangkah keluar istana. Di jalan aku mampir ke
kedai minuman untuk membeli sebotol arak. Sampai di rumah, segera
kunikmati arak yang bagus tadi hingga akhirnya aku tertidur pulas.
Paginya, aku terbangun dengan keadaan mata amat berat. Dengan langkah
sempoyongan aku menuju kamar mandi untuk cuci muka, lalu melihat
ramuanku semalam. Kulihat jam pasir yang sengaja kusiapkan untuk
mengukur waktunya, ah masih beberapa jam lagi, pikirku. Aku
merasa sangat kelaparan dan baru ingat sejak kemarin aku belum memakan
apapun. Mumpung hari masih pagi dan belum terlalu panas, kuputuskan untuk pergi ke hutan mencari tanaman obat pelengkap
yang dibutuhkan. Selain itu mungkin aku bisa menemukan hewan buruan jika
beruntung.
Setelah menyiapkan alat-alat aku masuk menuju hutan yang tak jauh
dari gubukku berdiri. Aku terbiasa dari kecil bermain-main di dalam
hutan ini. Dan bermacam-macam hewan sudah kutemui, hanya naga yang belum
pernah kulihat seperti apa wujudnya. Orang bilang naga itu hewan
legendaris tak sembarangan orang bisa beruntung melihatnya. Semakin
dewasa aku menganggap soal hewan naga itu hanyalah mitos.
Belum beberapa lama aku berjalan menyusuri hutan sambil melihat-lihat
dan mencari tanaman yang kubutuhkan, aku menemukan pemandangan aneh. Di
dalam hutan ada sepetak tanah kosong yang seperti sehabis dibersihkan
dalam waktu yang lama, tanah kosong ini benar-benar simetris berbentuk
kotak persegi dan di tengah-tengahnya maksudku tepat di tengahnya (bila
kalian ukur menggunakan alat) ada sebuah benda yang mirip tempayan
besar. Dengan hati-hati aku mendekatinya, ASTAGA! Ada tiga butir telur
di dalamnya! Aku benar benar terkejut. Tempayan raksasa berdiameter
sekitar limapuluh sentimeter dengan tiga butir telur seukuran buah
semangka yang berdenyut-denyut tergeletak di dalamnya.
Dengan hati-hati kuamati telur-telur itu. Aku tidak pernah melihat
telur sebesar ini kecuali milik rajawali raksasa yang telurnya sebesar
buah pepaya, itu pun yang menemukan adalah guruku. Dengan sigap dan
hati-hati kupindahkan telur-telur itu ke keranjang yang aku bawa. Lalu
bergegas pergi dari sana, menuju gubuk tuaku.
Sampai di rumah aku menata telur-telur itu di rak dan satu kubawa ke
dapur. Kupikir, ini telur rajawali raksasa biasa dan tak akan berbahaya
jika aku memasaknya satu, pasti akan sangat kenyang. Aku segera
mempersiapkan bumbu-bumbu yang kuperlukan. Dulu guru pula yang
mengajarkanku bagaimana memasak telur rajawali dewasa yang enak.
Kucampur jamur-jamuran, sayuran dan sedikit rempah di sana, lalu
kucampur jadi satu dengan telur yang sudah kupecahkan tadi. Begitu masuk
ke penggorengan aromanya segera menyeruak ke udara dan membuat perutku
berisik tak karuan.
Aku memasaknya dengan perlahan, karena telur ini begitu besar
sehingga adonannya memenuhi penggorengan dan harus hati-hati, bila tak
ingin masakan jadi berantakan. Dengan hati-hati kupotong dan kubalik
agar matangnya merata. Kutunggu dengan sabar samapi matang benar-benar
dan siap disajikan. Sampai warnanya sudah berubah kuning kecoklatan
akhirnya kuangkat dan kuletakkan di piring. Dengan lahap kunikmati
masakanku itu, manis sayuran, jamur, dan tomat berpadu dengan gurihnya
bawang dan pedasnya rempah. Begitu nikmat sampai tak terasa sudah
kulahap semua masakan itu tadi. Setelah makan dan menghabiskan arak yang
masih tersisa semalam. Mataku menjadi berat dan mengantuk kuputuskan
untuk tidur saja, lagipula ramuanku masih harus menunggu beberapa jam
lagi. Aku menuju tempat tidur tak butuh waktu lama, dengkuranku sudah terdengar di mana-mana.
“JAHAT!! MANUSIA JAHAT!!”
Samar-samar kudengar keributan di luar, aku terbangun dengan
tiba-tiba dan dengan kesadaran yang belum sepenuhnya. Kurasakan gubukku
berguncang hebat. Apa-apaan ini?! apakah ada gempa? pikirku penasaran. Aku berjalan dengan hati-hati agar tidak jatuh. Ketika sampai di pintu dan kubuka pintunya.
ASTAGA!!!! RUMAHKU TERBANG!!
Aku benar-benar terkejut, gubukku yang sudah tua ini tercabut dari
tanah dan mulai terbang. Dengan sigap aku melompat keluar, karena jarak
antara rumahku dengan tanah belum terlalu jauh. Setelah terjatuh
terguling aku merasakan sakit di punggung dan kulihat sekeliling sudah
bersih, hancur menjadi abu. Istana obatku terbakar hebat dan hanya
tersisa arang. Cepat-cepat kutengokkan kepalaku ke atas. Menatap rumahku
yang belum terbang terlalu jauh dan aku terperangah. Astaga rumahku
tidak terbang sendiri! Tapi dibawa terbang! Bukan burung! Itu naga! Naga
itu mencengkeram rumahku dan membawanya terbang, sambil mulutnya terus
menyembur-nyemburkan api.
“MANUSIA TAK PUNYA HATI NURANI!!” teriak naga itu, “KEJAM!!”
Aku masih terbengong-bengong tak percaya
dengan yang terjadi. Astaganaga, telur yang kudadar itu adalah telur
naga dan empunya datang mengambilnya kembali. Hatiku terasa sesak
mengingat semuanya, andai tadi pagi aku berkonsentrasi mencari tumbuhan
obat pelengkap ramuan itu saja. Tiba-tiba kepalaku menjadi pening ketika
mengingatnya. Mengingat ramuan itu, tentang perjanjianku dengan raja.
Seketika wajah raja itu terbayang menagih janji. Seketika wajah para
algojo yang terbiasa memenggal tahanan itu terbayang di depanku.
Seketika itu pula keringat dinginku mulai bercucuran mengingat hari
sudah semakin sore. Dan janji harus segera ditepati. Ah! Telur dadar
sialan!
0 comments