Davidhukom Minggu 3

Kamisan S1 #3 - Telur Dadar: Ah! Sialan!

15.16Unknown

source : google
source : google

Ketika keberuntungan datang dengan beruntun, itu sebenarnya adalah satu pertanda. Bahwa kamu harus selalu waspada, agar tidak ceroboh hingga mengubah keberuntungan itu menjadi kesialan. Seperti yang kualami. Aku seorang pemuda yang bercita-cita menjadi penyembuh, sayangnya di negeriku ini, jarang ada penyembuh atau lebih dikenal sebagai tabib yang masih muda. Rata-rata mereka sudah tua, sedangkan para penyembuh yang masih muda sering dipandang sebelah mata. Selain aku, banyak tabib muda lainnya yang sesungguhnya amat berpotensi bila saja dipercaya oleh kerajaan. Sehingga bisa membuka praktek pengobatan sendiri. Tapi itu jarang, sangat jarang bahkan hampir mustahil.

Suatu hari raja sedang sakit keras, karena tabib istana tak mampu menyembuhkan, akhirnya dibuat sayembara berhadiah lumayan besar 200 keping emas. Namun persyaratannya cukup susah, hanya tabib yang sudah memiliki ijin tertulis resmi dari istana yang boleh mengikuti. Sedangkan tabib-tabib muda sepertiku dan yang tidak resmi tak bisa mengikuti. Aku memakluminya sebagai kewaspadaan pengawal istana akan keselamatan raja, karena pangeran muda masih terlalu kecil untuk menggantikan apabila raja tiba-tiba meninggal.

Aku tak bisa turut serta dalam sayembara itu, tapi aku selalu mengikuti perkembangan beritanya. Ternyata yang berpartisipasi bukan hanya dari tabib dalam negeri, para kerabat luar istana yang kerajaannya lama bersahabat dengan kerajaan kami pun turut serta. Mereka mengirimkan tabib-tabib dan ahli pengobatan terbaik yang dimiliki. Sudah sebulan sayembara itu berjalan, tapi tak juga menunjukkan tanda-tanda yang bagus, malah semakin suram.

Aku yang dari awal memang berniat berpartisipasi pun semakin tak sabar dan khawatir dengan kesehatan paduka raja. Siang itu aku berusaha mengorek informasi di pasar yang biasa dilewati orang-orang ketika keluar masuk kota, berharap menemukan informasi yang kubutuhkan, sakit apa yang diderita, sejak kapan ia sakit, sebab ia terkena penyakit, lalu obat macam apa saja yang sudah diberikan dan efek apa saja yang sudah ditimbulkan.

Beruntung, setelah dua hari aku berjalan berkeliling pasar, aku bertemu dengan seorang tabib dari luar kota yang gagal mengobati Sang Raja. Aku mewawancarainya macam-macam dan saat ia bertanya mengenai identitasku aku menghindar dan berhasil menyembunyikannya. Aku kembali ke gubuk tua istanaku di tengah hutan. Membuka-buka kitab pengobatan kuno, berharap menemukan setitik cerah di sana.

Seharian aku menjelajahi seluruh kitab yang ada di perpustakaanku. Entah, penyakitnya aneh, awalnya gatal-gatal di sekujur tubuh kemudian malamnya meriang disertai panas tinggi, bentol-bentol di sekujur tubuhnya terasa sakit, dari awal sampai sekarang beliau masih belum bisa makan aneh-aneh, selalu dimuntahkannya kembali dan di kepalanya seperti ada borok yang bernanah dan mengeluarkan bau busuk.
Penyakit aneh, apakah paduka raja terkena guna-guna? Entahlah.

Sudah hampir memasuki bulan kedua sejak diadakannya sayembara dan hadiah pun ditambah menjadi 500 keping emas. Satu yang kusesalkan, mereka tak juga membuka diri untuk memberi kesempatan pada tabib-tabib muda sepertiku.

Ketika memikirkan hal itu, aku teringat catatan harian tua milik guruku yang ditinggalkannya untukku saat beliau meninggal. Aku segera berlari menuju kamar, membuka sebuah peti tua dan membongkar isinya. Debunya bertebaran kemana-mana hingga membuat dadaku sedikit sesak. Pencarian itu tak sia-sia. Aku membuka buku itu membacanya satu persatu dan mempelajari ulang, bagaimana dulu guru selalu berhasil menyembuhkan pasien yang bahkan penyakitnya masih sangat asing. Sepertinya pencarianku berbuah hasil. YES!! Ada! Benar! ada obatnya!!

Aku buru-buru membawa resepnya ke laboratorium, mencari semua perlengkapan yang dibutuhkan dan juga tanaman-tanaman obat yang harus disediakan. Ah untunglah, semua ada di rumah obatku. Ya, aku memiliki rumah obat, jadi semua tanaman yang bisa kugunakan untuk obat-obatan kutanam kembali di pot dan kukumpulkan di sebuah pondok yang lumayan luas, dengan pencahayaan matahari dan air yang cukup aku merawat semuanya. Jadi bila ada resep yang membutuhkan tanaman-tanaman khusus, aku tak perlu lagi repot-repot mencarinya sampai ke tengah hutan seperti dulu.

Semua bahan yang ada kutumbuk jadi satu dan memasaknya disebuah tungku pembakaran. Semua ramuan itu harus dimasak selama 30 jam, tidak kurang juga tidak boleh lebih. Diakhir setelah semuanya selesai ramuan itu harus dicampur satu tanaman lagi yang berfungsi sebagai pengering luka. Nantinya daun dari tanaman ini juga ditumbuk dan dioleskan ke kepala baginda raja, agar luka korengnya mengering.

Ahh, ternyata sudah hampir malam. Sambil menunggu ramuan selesai, aku memutuskan mengunjungi istana, mencoba membuat penawaran. Hatiku benar-benar bangga, belum pernah aku sebahagia ini sebelumnya, langkahku terasa ringan dan tenang. Sampai di istana dengan ragu-ragu pengawal mempersilahkanku masuk ke ruangan raja.

“Apa keperluanmu wahai anak muda?” tanya penasihat kerajaan.

“Aku hendak menawarkan obat yang sangat mujarab untuk sakit yang diderita baginda raja” jawabku.

Penasihat tua itu mengelus jenggotnya sambil menatap raja, “Kau tahu persyaratan mengikuti sayembara ini bukan? Hanya untuk tabib yang sudah berpengalaman dan memiliki sertifikat resmi, sehingga jika gagal dan membahayakan paduka raja mereka ada jaminan sebagai konsekuensi pertanggung jawaban perbuatan mereka yaitu dicabutnya ijin praktek pengobatan selamanya” kata penasihat tua itu, sombong.

Aku mendongakkan sedikit kepalaku menatap dua orang di depanku itu, lalu berkata “Hamba memang belum memiliki sertifikat itu tuanku, maka dari itu hamba kemari untuk mengajukan penawaran”.

“LANCANG!” bentak penasihat tua itu. “Memangnya siapa dirimu berhak mengajukan tawar menawar atas keselamatan raja?!” katanya sambil melotot ke arahku.

Baginda raja lalu memegang tangannya dan berkata “Biar anak muda ini mencobanya, apa penawaran yang kau ajukan?” terdengar lebih bijak daripada penasihatnya.

“Hamba tidak menginginkan emas tuanku, tapi hamba hanya ingin sertifikat ijin membuka praktek pengobatan di kota”

“Hmm, baiklah akan kukabulkan permintaanmu, kapan kau akan mulai mengobatiku?”

“Besok, besok sore tuanku, hamba akan datang kesini dan mengobati tuanku”.

“Baik, akan kutunggu janjimu, tapi jika janjimu meleset atau penyakitku tak juga sembuh, maka kepalamu akan terpasang di balai kota sebagai pertanda bagi siapa saja yang coba melakukan tawar-menawar dengan raja”.

DEG. Aku terkejut, menelan ludah dan meraba leherku. Tapi karena keyakinan pada ramuanku juga resep guru yang tak mungkin diragukan lagi itu membuatku mengangguk, mengiyakan. Dengan langkah senang sekaligus bercampur takut aku melangkah keluar istana. Di jalan aku mampir ke kedai minuman untuk membeli sebotol arak. Sampai di rumah, segera kunikmati arak yang bagus tadi hingga akhirnya aku tertidur pulas.

Paginya, aku terbangun dengan keadaan mata amat berat. Dengan langkah sempoyongan aku menuju kamar mandi untuk cuci muka, lalu melihat ramuanku semalam. Kulihat jam pasir yang sengaja kusiapkan untuk mengukur waktunya, ah masih beberapa jam lagi, pikirku. Aku merasa sangat kelaparan dan baru ingat sejak kemarin aku belum memakan apapun. Mumpung hari masih pagi dan belum terlalu panas, kuputuskan untuk pergi ke hutan mencari tanaman obat pelengkap yang dibutuhkan. Selain itu mungkin aku bisa menemukan hewan buruan jika beruntung.

Setelah menyiapkan alat-alat aku masuk menuju hutan yang tak jauh dari gubukku berdiri. Aku terbiasa dari kecil bermain-main di dalam hutan ini. Dan bermacam-macam hewan sudah kutemui, hanya naga yang belum pernah kulihat seperti apa wujudnya. Orang bilang naga itu hewan legendaris tak sembarangan orang bisa beruntung melihatnya. Semakin dewasa aku menganggap soal hewan naga itu hanyalah mitos.

Belum beberapa lama aku berjalan menyusuri hutan sambil melihat-lihat dan mencari tanaman yang kubutuhkan, aku menemukan pemandangan aneh. Di dalam hutan ada sepetak tanah kosong yang seperti sehabis dibersihkan dalam waktu yang lama, tanah kosong ini benar-benar simetris berbentuk kotak persegi dan di tengah-tengahnya maksudku tepat di tengahnya (bila kalian ukur menggunakan alat) ada sebuah benda yang mirip tempayan besar. Dengan hati-hati aku mendekatinya, ASTAGA! Ada tiga butir telur di dalamnya! Aku benar benar terkejut. Tempayan raksasa berdiameter sekitar limapuluh sentimeter dengan tiga butir telur seukuran buah semangka yang berdenyut-denyut tergeletak di dalamnya.

Dengan hati-hati kuamati telur-telur itu. Aku tidak pernah melihat telur sebesar ini kecuali milik rajawali raksasa yang telurnya sebesar buah pepaya, itu pun yang menemukan adalah guruku. Dengan sigap dan hati-hati kupindahkan telur-telur itu ke keranjang yang aku bawa. Lalu bergegas pergi dari sana, menuju gubuk tuaku.

Sampai di rumah aku menata telur-telur itu di rak dan satu kubawa ke dapur. Kupikir, ini telur rajawali raksasa biasa dan tak akan berbahaya jika aku memasaknya satu, pasti akan sangat kenyang. Aku segera mempersiapkan bumbu-bumbu yang kuperlukan. Dulu guru pula yang mengajarkanku bagaimana memasak telur rajawali dewasa yang enak. Kucampur jamur-jamuran, sayuran dan sedikit rempah di sana, lalu kucampur jadi satu dengan telur yang sudah kupecahkan tadi. Begitu masuk ke penggorengan aromanya segera menyeruak ke udara dan membuat perutku berisik tak karuan.

Aku memasaknya dengan perlahan, karena telur ini begitu besar sehingga adonannya memenuhi penggorengan dan harus hati-hati, bila tak ingin masakan jadi berantakan. Dengan hati-hati kupotong dan kubalik agar matangnya merata. Kutunggu dengan sabar samapi matang benar-benar dan siap disajikan. Sampai warnanya sudah berubah kuning kecoklatan akhirnya kuangkat dan kuletakkan di piring. Dengan lahap kunikmati masakanku itu, manis sayuran, jamur, dan tomat berpadu dengan gurihnya bawang dan pedasnya rempah. Begitu nikmat sampai tak terasa sudah kulahap semua masakan itu tadi. Setelah makan dan menghabiskan arak yang masih tersisa semalam. Mataku menjadi berat dan mengantuk kuputuskan untuk tidur saja, lagipula ramuanku masih harus menunggu beberapa jam lagi. Aku menuju tempat tidur tak butuh waktu lama, dengkuranku sudah terdengar di mana-mana.

“JAHAT!! MANUSIA JAHAT!!”

Samar-samar kudengar keributan di luar, aku terbangun dengan tiba-tiba dan dengan kesadaran yang belum sepenuhnya. Kurasakan gubukku berguncang hebat. Apa-apaan ini?! apakah ada gempa? pikirku penasaran. Aku berjalan dengan hati-hati agar tidak jatuh. Ketika sampai di pintu dan kubuka pintunya.

ASTAGA!!!! RUMAHKU TERBANG!!

Aku benar-benar terkejut, gubukku yang sudah tua ini tercabut dari tanah dan mulai terbang. Dengan sigap aku melompat keluar, karena jarak antara rumahku dengan tanah belum terlalu jauh. Setelah terjatuh terguling aku merasakan sakit di punggung dan kulihat sekeliling sudah bersih, hancur menjadi abu. Istana obatku terbakar hebat dan hanya tersisa arang. Cepat-cepat kutengokkan kepalaku ke atas. Menatap rumahku yang belum terbang terlalu jauh dan aku terperangah. Astaga rumahku tidak terbang sendiri! Tapi dibawa terbang! Bukan burung! Itu naga! Naga itu mencengkeram rumahku dan membawanya terbang, sambil mulutnya terus menyembur-nyemburkan api.

“MANUSIA TAK PUNYA HATI NURANI!!” teriak naga itu, “KEJAM!!”

Aku masih terbengong-bengong tak percaya dengan yang terjadi. Astaganaga, telur yang kudadar itu adalah telur naga dan empunya datang mengambilnya kembali. Hatiku terasa sesak mengingat semuanya, andai tadi pagi aku berkonsentrasi mencari tumbuhan obat pelengkap ramuan itu saja. Tiba-tiba kepalaku menjadi pening ketika mengingatnya. Mengingat ramuan itu, tentang perjanjianku dengan raja. Seketika wajah raja itu terbayang menagih janji. Seketika wajah para algojo yang terbiasa memenggal tahanan itu terbayang di depanku. Seketika itu pula keringat dinginku mulai bercucuran mengingat hari sudah semakin sore. Dan janji harus segera ditepati. Ah! Telur dadar sialan!

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak