Sisa hujan masih menetes satu-satu, jatuh dari atap tepat ke telapak
tangan Alea yang ia ulurkan melewati batas jendela ke udara terbuka di
luar. Meski ia sudah merasakan tangannya kebas, Alea enggan menariknya
masuk ke dalam ruangan perpustakaan yang hangat. Tak hanya itu, kakinya
mulai kesemutan. Tubuhnya pun terasa kaku bila digerakkan. Sudah lebih
dari satu jam posisi Alea seperti itu. Sejak gerimis jatuh perlahan,
menderas dan kembali leren seperti sekarang. Tatapan gadis itu
sayu, nyaris kosong. Ia tak melihat awan-awan putih-kelabu di atasnya.
Atau merasa terganggu oleh bising kendaraan di bawah. Rasa nyeri di
hatinyalah yang mendapat perhatian penuh Alea sejak setengah tahun lalu.
Rayi sudah lama meninggal tetapi masa berkabung Alea tak juga usai.
Alea menelan ludah, hal taktis yang selalu dilakukannya ketika teringat Rayi. Seolah-olah itu membantunya meredam sesak di dada.
Alea memaksakan diri berbalik dari jendela. Pandangannya memindai
seluruh perpustakaan. Tak banyak orang yang datang hari ini. Seperti
biasanya. Di sebelah kiri, berdiri empat buah rak tempat buku-buku fiksi
populer baik terjemahan maupun lokal berjajar rapi. Ada satu perempuan
menyelinap dari satu rak ke rak, menyisir judul-judul buku. Di depan
deretan rak tadi, ada satu ruangan terbuka, dengan satu set sofa tempat
pengunjung bisa membaca sambil duduk santai bahkan menelungkup beralas
bantal kecil yang disediakan. Tepat di hadapannya, berjajar empat rak
memuat buku-buku referensi umum. Tak ada seorang pun di sana. Begitu pun
di Meja-meja komputer. Di sebelah kanan, tempat lebih banyak rak
tersusun, Alea melihat ada tiga orang, dua lelaki dan satu perempuan
sibuk mencari-cari buku. Di depan, berbatas dinding kaca, Adri
pustakawan yang bertugas hari ini. Sibuk mencatat sesuatu yang entah
apa.
Total hanya ada enam orang di perpustakaan ini termasuk dirinya. Alea
menghela nafas. Memang tak pernah bisa lebih banyak dari ini. Kalau
bukan karna temannya Suma, yang menyeretnya dari taman di sisi jembatan,
Alea tak akan tahu tentang perpustakaan ini.
Alea maklum. Semua orang ingin dirinya tetap melanjutkan hidup. Tidak terus-terusan berkabung untuk Rayi.
“Menulislah!” Suma memberikan kepada Alea sebuah buku
catatan dan pulpen. “atau kamu bisa membaca buku,” katanya. Tangannya
menunjuk rak-rak buku. “Melompatlah dari satu dunia ke dunia lain, Alea.
Kamu bisa lihat bahwa kehilangan adalah hal umum yang dialami semua
orang. Lebih dari itu, Rayi pasti nggak akan senang melihatmu
seperti ini.” Suara Suma terlontar cukup keras saat itu hingga kami
menjadi pusat perhatian pengunjung. Saat itulah, Adri menghampiri kami.
Suma yang notabene pengunjung tetap perpustakaan sudah mengenal Adri
cukup baik bahkan ia terkadang sering melewatkan denda karna berkolusi.
Itu pertama kalinya Alea berkenalan dengan Adri. Perjumpaan pertama yang
menurut Alea memalukan. Ia pasti tampak kusut waktu itu.
Alea ingin kembali menulis ketika ia mendapati tiga potongan puzzle. lagi?
Yang benar sajalah! Ini sudah ketiga kalinya Alea mendapat
potongan-potongan puzzle. Pertama kali ia hanya mendapatkan satu. Kedua
kali delapan potongan puzzle ia temukan di antara barang-barangnya yang
berserak di atas meja. Total ia sudah mengantungi dua belas potongan
puzzle.
Alea menyingkap tasnya. Mengeluarkan potongan-potongan puzzle yang ia
simpan di kotak kayu persegi panjang ukuran sepuluh centi miliknya.
Lalu pelan-pelan, Alea mulai menyusunnya. Memutar-mutarnya hingga
menemukan celah dengan potongan yang pas.
Pekerjaannya menjadi sulit karna tak ada bagian gambar yang identik.
Siapapun pengirimnya ia pasti ingin melihat Alea bersusah payah. Alea
sedikit terbantu hanya karna si Pengirim lebih dulu memberikannya
potongan puzzle di sudut. Alea bisa menduga kalau gambar di puzzle ini
adalah air, atau danau atau kolam. Atau apalah. Pokoknya air.
Aku harus bertanya pada orang ini apa maksudnya. Pasti!
——
Adri terhenti dari aktivitasnya mencatat buku-buku koleksi baru
perpustakaan. Perhatianya teralih pada gadis di sudut, hampir mendekat
ke deretan rak buku-buku populer. Alea. Gadis itu masih saja mengulurkan
tangannya. Musim penghujan baru datang kurang dari seminggu tetapi
kebiasaan gadis itu memandang ke luar jendela sudah ia mulai sejak
pertama kali menginjakan kaki di perpustakaan ini.
Pada awalnya, Adri tak begitu saja tertarik pada Alea. Mereka hanya
berbicara saat Alea datang, sekadar berbasa-basi ketika gadis itu
mengisi buku tamu, Adri berbicara dengannya dan mereka akan berbincang
basa-basi lagi ketika Alea akan pulang. Alea selalu jadi pengunjung yang
terakhir pulang meski selama di perpustakaan ia lebih banyak melamun
tinimbang membaca buku.
Melihat itu, Adri sering menghampiri Alea dan menyarankan buku-buku
bagus untuk dibaca. Gadis itu tak pernah menolak, mengambil buku dari
tangannya tetapi tak pernah satu pun buku-buku itu dia baca.
Suatu kali untuk sekian kalinya. Adri mengambil novel Stardust,
berniat menyarankan Alea untuk membacanya. Kali ini, ia akan lebih
menyakinkan Alea agar mau membacanya buka hanya mengambil dari tanganya
lalu meletakan buku itu di meja.
Adri tidak tahu apa yang Alea lihat ketika ia menghampiri gadis itu.
Alea terlihat tersentak dan ia menutupi secara terang-terangan dengan
tangannya, lalu mendongak canggung dengan angkuh.
Adri mengenali sorot mata itu. Beberapa tahun yang lalu Adri akrab
dengan rona redup di iris mata gadis itu. Matanya, sama persis dengan
sorot mata Sang Ayah ketika ibunya meninggal dunia. Raut kehilangan itu.
Adri segera terjaga dari rasa terkejutnya. Ada tekad yang entah untuk
melenyapkan kabut dari mata coklat Alea.
—
Hujan kembali. Alea sudah bersiap pulang ketika langit bergetar oleh
gemuruh suara guntur. Jendela kaca bergetar samar. Alea memindai ruang
di sekelilingnya, tak ada siapa-siapa. Entah sejak kapan pengunjung
perpustakaan ini hanya tinggal dia sendiri. Alea menjulurkan leher,
mengintip Adri di mejanya. Tak ada. Ke mana pustakawan itu pergi?
Alea melirik jam tangannya. Masih setengah jam lagi dari jam tutup
perpus tetapi memang biasanya petugas perpus akan membereskan ruangan
terlebih dulu sebelum tutup. Mungkin Adri juga sedang bersiap. Gegas
Alea merapikan barang-barangnya. Ia heran sendiri kenapa begitu banyak
barang di mejanya padahal ia tak melakukan banyak hal di sini.
Alea sedang berlari-lari kecil sambil menutupi kepala dengan
tangannya ketika mendengar sebuah suara memanggilnya. Suara bariton
milik Adri. Gadis itu berhenti.
“Pakai payungku,” katanya. Alea terlalu terkejut untuk memberi
reaksi. Air tak lagi menetesi dirinya sebab terhalang payung hijau yang
disorongkan Adri di atas kepalanya.
“Hanya sampai di depan,” Alea mencoba menawar. Adri mengangguk.
Suara statis hujan mengisi perjalanan mereka. Memang perpustakaan ini
tidak langsung terhubung ke jalan raya. Setiap pengunjung yang datang
dan pergi harus berjalan beberapa meter untuk dari dan ke perpustakaan.
Hal ini membuat Alea canggung. Ia sadar meski telah lama mengenal Adri
mereka tak pernah bicara lebih dari dua kalimat.
Sebelum Alea sempat menyadari, Adri sudah menggenggamkan payungnya
masuk ke tangan Alea. “Pakai saja dulu,” katanya lalu berlari menerobos
hujan ke arah yang berbeda.
Alea membeku. Tak sempat untuk memberikan reaksi. Hingga suara
klakson angkutan umum menariknya kembali ke dunia nyata. Ia melipat
payung lalu melompat masuk ke dalam angkutan.
Alea duduk dan merapikan lipatan-lipatan payung. Ia tersenyum samar,
bahkan di kota hujan sekalipun para pria tak akan bersusah-susah membawa
payung. Pria langka, Alea membatin.
Kegiatanya terhenti ketika tangannya tak sengaja menyetuh benda yang
tergantung di ujung gagang payung. Ia merasa tak asing dengan benda
tersebut. Alea melepaskannya dari gantungan. Membuka wadah plastik yang
menahan potongan-potongan puzzle di dalamnya.
Sebuah kesimpulan menahan kejut di mulut Alea, ia menahannya dengan
satu tangan. Saat pertama kali mendapat potongan puzzle, Adrilah yang
menjadi petugas pada hari itu. Potongan puzzle yang kedua, meski tak
bertugas, ia sempat melihat Adri datang sebelum akhirnya menghilang. Dan
tadi, pria itu juga ada di perpustakaan.
Begitu sampai di kamarnya, Alea mengeluarkan potongan puzzle yang
sudah lebih dulu ia miliki, menyusunnya kembali. Masih tersisa ruang
untuk empat potong puzzle lagi. Tangannya menjangkau gantungan puzzle di
payung, dengan tenang menyusunnya. Apa yang ingin kamu sampaikan, Dri?
Pemandangan air terjun Horseshoe– satu dari tiga air terjun
Niagara–dengan pelangi melintang di tengah-tengahnya muncul di hadapan
Alea dari potongan-potongan puzzle. Gambar pemandangan itu menerbitkan
senyum di wajahnya, begitu saja.
Alea akan menanyakan perihal puzzle ini pada Adri besok. Ketika ia
hendak menyimpannya, matanya menyipit pada tulisan di pinggir. Puzzletter?
Alea pernah mendengar mengenai jenis kartu pos puzzletter ini dari
Rayi. Tentang betapa sulitnya ia mendapatkan kartu pos tersebut yang
merupakan keluaran asli negara Kanada.
Jadi ini kartu pos?
Menjawab pertanyaannya sendiri, Alea membalik kartu. Sebuah tulisan tangan tertoreh lembut di baliknya.
Berbaliklah, Alea, masih banyak hal indah yang perlu kamu lihat
——–
Ketika ia sampai, Alea sudah menunggunya. Wajah gadis itu datar. Tak
ada emosi apa-apa yang bisa ditangkap Adri. Itu membuatnya menjadi
gugup.
Gadis itu menyorongkan payung yang ia pinjamkan. “Terima kasih,” katanya. Masih datar. Lebih datar dari biasa.
“Sama-sama.”
Adri berbalik, nyaris menunjukkan kegugupannya. Ia mencari-cari kunci utama perpustakaan.
“Hanya itu?”
“Maksudmu?” Adri menoleh penuh di hadapan Alea.
“Kamu mengerti maksudku, Dri.”
Oke. Mungkin inilah saatnya ia mengatakan yang sebenarnya.
“Aku tak tahan dengan kabut yang menutup mata coklatmu. Bahkan,
lesung di pipimu ini tak pernah lagi terlihat lesak”, Adri memberanikan
diri mengetuk wajah sebelah kiri Alea. Tepat di tempat lesung di pipinya
muncul.
Gadis itu mundur selangkah. “Kamu nggak tahu apa-apa”, katanya.
“Memang tidak. Aku nggak tahu sedalam apa kehilanganmu. Hal
yang tidak adil mengukur perasaan orang lain dengan diri kita. Tetapi,
kamu bukan satu-satunya, Alea. Kamu bukan satu-satunya”
——
Alea merasakan panas di sudut-sudut matanya. Ia ingat, sewaktu ia menunggui Rayi di rumah sakit. Rayi pernah mengatakan padanya kelak, ketika ia tak ada, ia tidak ingin Alea mengingatnya dengan kemuraman. Ia ingin Alea mengingatnya dengan perasaan yang sama ketika mereka melihat matahari terbenam di sisi jembatan.
Tak ingin membiarkan air matanya jatuh di depan Adri, Alea berbalik dan pergi. Masih didengarnya suara Adri berteriak di belakangnya,
“Berbaliklah, Alea dan lihatlah aku!”
—–
——
Alea merasakan panas di sudut-sudut matanya. Ia ingat, sewaktu ia menunggui Rayi di rumah sakit. Rayi pernah mengatakan padanya kelak, ketika ia tak ada, ia tidak ingin Alea mengingatnya dengan kemuraman. Ia ingin Alea mengingatnya dengan perasaan yang sama ketika mereka melihat matahari terbenam di sisi jembatan.
Tak ingin membiarkan air matanya jatuh di depan Adri, Alea berbalik dan pergi. Masih didengarnya suara Adri berteriak di belakangnya,
“Berbaliklah, Alea dan lihatlah aku!”
—–
14:12
Ket :
*Leren : bahasa Palembang, reda.
*Stardust : novel Neil Gaiman
*Puzzletter : dari sebuah blog, bahwa puzzletter merupakan kartu pos yang berasal dari Kanada.
*Alea dan Rayi adalah tokoh imajiner ciptaan saya dan David sewaktu kami mengikuti lomba duet menulis cerpen.
Berikut adalah fragmen cerita tentang mereka yang pernah saya buat untuk Kamisan sebelumnya.
1) Kamisan #11 Lem Kertas : Tentang Sebuah Album
https://4sayap.wordpress.com/2013/12/05/kamisan-11-lem-kertas-tentang
-sebuah-album/
2) Kamisan #3 Telur Dadar : Telur Dadar Terenak di Dunia
https://4sayap.wordpress.com/2013/10/05/kamisan-3-telur-dadar-telur-dadar-terenak-di-dunia/
0 comments