#02 Kartu Pos Davidhukom

Kamisan S2 #02 - Kartu Pos: L . E . G . A . C . Y

10.51Unknown






Hei, namaku Pramono, Seno Adi Pramono. Aku ingin menceritakan sesuatu, tak panjang, karena aku sudah tak bisa bercerita lebih lama lagi dari ini. Aku hanya minta sedikit waktu kalian. Tapi sebelumnya, aku ingin bertanya satu hal pada kalian. Apa kalian percaya bahwa pahlawan yang tak dikenal itu benar-benar ada? Sosok pahlawan bagi seseorang meskipun tidak bagi yang lain, hanya dia sendiri yang tahu jati dirinya, dan tak dipuja siapapun? Jika ya, silahkan lanjutkan membaca ceritaku. Jika tidak, silahkan kalian lewatkan cerita ini, pergilah, karena pasti akan sangat membosankan.

 
 BYURR!!

“BANGUN!!”

Dingin, basah, nyeri, perih, bau amis busuk. Wajah dan tubuhku basah. Mataku terasa berat ketika kubuka perlahan, cahaya yang tiba-tiba sangat silau membuatku memicingkan mata. Kepalaku berdenyut, pusing. Mataku terasa panas, sepertinya lebam. Hidungku sepertinya patah, hanya ngilu yang terasa.

“Dimana ini?” tanyaku dalam hati. Sudut bibirku terasa mengering, perih. “Hei, apa ini?” Sial! tangan dan kakiku terikat, dan aku baru menyadari ternyata aku sedang terduduk di kursi di sebuah ruangan yang gelap dan hanya ada satu lampu merkuri yang menggantung.

“Dia sudah sadar, Bos” ada suara di salah satu pojok ruangan yang gelap itu. Kurasa ia yang tadi menyuruhku bangun, sekarang ia mendekat, aku mendengar langkah kakinya. Mataku kembali memejam, perutku terasa kram, sementara tak hanya tanganku yang diikat, tapi juga kakiku. Entah, ada apa ini.

“Mulai tanyakan padanya soal benda itu, aku ingin cepat selesai! Aku sudah muak!” bentak suara serak dan kering itu, sepertinya suara orang tua dan ia ada di luar ruangan ini. Suaranya seperti lewat..

BRUG!!

Tinju besar melayang di dagu kiriku, keparat. Lidahku merasakan ada darah meluncur bebas di sudut bibir, perih. Kepalaku kembali berdenyut.

“Sekarang jawab pertanyaanku anak berengsek! Dimana kau simpan benda itu?!”


***


Sehari  sebelumnya…
Selasa, 21 Maret 2000
Di sebuah kota yang tak diketahui namanya

“Nak, tolong kasihken ini kepada seseorang di kampung Wahidin” Ujar seorang bapak-bapak sewaktu pagi buta, tepat saat akan kukayuh sepedaku.

Pagi itu setelah membersihkan rumah, seperti biasa aku berangkat kerja dengan mengayuh sepeda. Maklum pegawai kantor pos rendahan. Sampai tiba-tiba seorang bapak tua berpakaian lusuh dengan tangan gemetar, memberikan sesuatu padaku. Orang-orang warga sekitar rumah memang biasa menitipkan sesuatu padaku, seperti tagihan listrik, atau sekadar mengirimkan surat. Tapi bapak ini berbeda, aku tak pernah melihat dia sebelumnya. Dia bukan penduduk kampung ini.

Belum selesai otakku berputar memikirkan, bapak itu sudah melangkah pergi setelah membisikkan sebuah nama, dan menghilang tepat setelah belokan pertama. Aku menimang-nimang barang yang ada di tanganku. Kuputuskan memasukkannya ke dalam tas, lalu bergegas menuju ke tempat kerja.

Kantor pos di kota ini tak terlalu jauh. Keluar dari gang rumahku, meneyeberang jalan raya dan tinggal lurus menuju barat sepanjang jalan Jaksa Agung Suprapto. Sampai belokan telkom menuju alun-alun, ada satu jembatan penyebrangan di sana. Di mana tertulis bak prasasti berbagai janji pasangan, juga umpatan-umpatan tak keruan. “Danny, David, Siti, Eko, Choy, Dendi. Band Masa Depan Indonesia” aku tersenyum mengingatnya, entah siapa yang menulisnya, terdengar seperti sumpah para pemuda yang semangatnya berkobar seperti api abadi di Madura sana.

“Bagaimana kabar mereka sekarang?” entahlah, mungkin sudah jadi band terkenal atau malah jadi buruh kapitalis asing yang menjajah dalam negeri.

Melewati mall sarinah yang merupakan mall tertua di kota ini atau kau bisa lurus saja menembus jalanan depan masjid Jami’ salah satu masjid megah di kota ini. Setelahnya kau akan bertemu perempatan yang jika membelok akan membawamu ke arah Brantas, kalau lurus akan membawamu ke pecinan, perempatan satunya membawamu ke embong arab. Iya, kantor pos ini seakan membelah satu jalanan besar, megah, kuno, menantang alun-alun yang ada di seberangnya.

Kantor masih sepi, sementara pekerjaanku masih rutin, sama seperti biasa. Mengumpulkan surat-surat yang sudah siap disebar. Mengelompokkan per daerah, kecamatan, kelurahan. Lalu berangkat dengan mengambil rute terjauh terlebih dahulu sampai yang terdekat.

“KOPI BANG” teriakan Sapto, seperti biasa di pagi hari. Aku hanya menjawab dengan mengacungkan jempol. Tak lama ia datang mengantar secangkir kopi, lalu kubakar kretekku.

Sapto tak lantas pergi, ia malah duduk di sampingku, “Nampol, Bang?” tanyanya sambil tersenyum.

“Mantap” jawabku pendek.

Pekerjaan sehari-hari, memang terlihat membosankan, tapi percayalah pekerjaan ini sebenarnya mengasyikan. Kau bersepeda motor menelusuri jalanan sampai ke pelosok-pelosok mengantarkan surat kerinduan sepasang kekasih yang terpisah jarak atau orang tua pada anaknya, atau ah sudahlah, sangat  banyak sekali alasan mengapa orang mengirimkan surat, wesel, telegram, atau kartu pos.

“Mbok mampir dulu sini, kok keliatannya terburu-buru sekali, kejar setoran buat nikah??” kata orang-orang yang sudah akrab denganku di sebuah daerah, pada suatu hari yang lalu. Membuatku terlambat masuk kantor karena harus meladeni mereka main catur dengan taruhan beberapa bungkus rokok di sebuah pos ronda. Kejadian-kejadian seperti itu yang seringkali menghilangkan kepenatan akan pekerjaan ini. Pekerjaan yang melelahkan dengan gaji tak sepadan.

Sore sepulang kerja, langit mendadak mendung setelah seharian panas menyengat. Kukayuh sepedaku pelan menyusuri jalanan merdeka timur, melewati tugu yang berdiri tegak menghitam tepat di depan balai kota. Sepedaku memutari bundaran tugu. Rodanya memutar di belokan SMA Negeri 1, menuju jalan ijen yang di ujungnya adalah stasiun kota baru, otakku otomatis memerintah membelok lagi ke kiri, di ujung jalan sana ada pertigaan yang lurusnya menuju kampung yang hendak kusinggahi beberapa saat menyampaikan amanah dari orang yang tak kukenal tadi pagi.

Beberapa menit mengayuh mataku menangkap sebuah warung sederhana yang berada tepat di sudut pertigaan yang akan kudatangi kampungnya, semacam tempat penyambutan tamu sebelum masuk kampung. Hmm, masih lumayan ramai pengunjung, “Mampir sebentar menikmati kopi tak salah kurasa, sekalian menanyakan orang yang kucari” pikirku. Lagipula sejak dari stasiun tugu, hujan sudah mulai turun, airnya benar-benar membasahiku. Secangkir kopi panas akan mengembalikan kehangatan.


“WARUNG BU PRAPTI”


Tulisan itu terpampang jelas dispanduk yang mulai usang di depan warung. Aku melihat di sana hanya seorang bapak tua yang sedang berbincang dengan seorang pemuda seumuranku. Keduanya tampak asyik berdialog. “Ah dimana dia sekarang?” Pikiranku mendadak terlempar jauh, teringat ayahku yang menghilang diakhir tahun 60an. Lalu ibu yang mendadak sakit kemudian hidupnya tak bertahan lama. Keadaan memaksaku untuk belajar bertahan hidup dari jalanan. Preman, copet, rokok, miras, koran bekas, pelacur jalanan, pengemis artis, bermacam tindak kriminal di jalanan sudah seringkali melintas di sepanjang usiaku.

“NGGAK BUK! NGUTANG DULU! CATAT SAJA! TANGGAL SATU TAK BAYAR!”

Teriakan dari pemuda tadi mengagetkanku. Kopi yang masih mengeluarkan uap panas itu kuminum perlahan. Kunyalakan sebatang kretek, “Buk, apa di daerah sini ada yang namanya Pak Kasyadi?” tanyaku pada pemilik warung yang sedang menggoreng mendoan. Aromanya menggoda perut.

Dahi ibu itu berkerut, bingung. “Pak Kasyadi siapa?” katanya ragu.

Aku hanya menggarukkan kepalaku, sepertinya orang yang kucari bukan penduduk sini. “Ini kampung wahidin toh?” aku bertanya sekali lagi, meyakinkan.

“Iya mas” Pak tua di seberang sana itu menimpali, “Sampean cari Kasyadi siapa?” wajahnya terlihat serius. Entah mengapa, perasaanku mendadak tak enak.

“Ada titipan pak, dari Pak Kusnandar. Beliau meminta saya memberikannya pada pak Kasyadi sendiri,” jawabku perlahan. Kopi di depanku kembali kuminum, meredakan dingin.

“Kasyadi di sini cuma satu, kalau itu yang sampean maksud, mungkin ini,” Pak tua itu mendekat mengeluarkan sebuah kartu, kartu anggota patriot pejuang kemerdekaan. Tertulis nama di sana. Kasyadi Jarwo Sumitro.

Aku terdiam cukup lama, lalu perlahan merogoh tas mengeluarkan barang yang sedari tadi kusimpan. “ini pak” kataku menyodorkan benda itu.

Bapak itu menerimanya, membacanya perlahan. Matanya berkaca-kaca, tangan tuanya yang masih gagah, legam, kemudian memelukku.

“Terima kasih, Nak” katanya.

“Ada apa toh pakdhe?” ibu-ibu itu kebingungan. Mungkin dia mengira ini seperti adegan tali kasih di televisi dimana acara itu mempertemukan dua anggota keluarga yang sudah lama tak bertemu. Tapi dia salah. Aku tak tahu apa-apa sama sekali.

“Sini nak, tak ceritaken semuanya” kata bapak tua itu mengajakku duduk di sampingnya, “Alhamdulillah buk Prapti,, Heru ndak perlu bingung ongkos nikah lagi, dia pasti tertawa kegirangan kalau kuceritakan” ujarnya kemudian sambil tertawa lepas.


***

Rabu, 22 Maret 2000
di pinggiran kota yang tidak diketahui letaknya.

Pekerjaan sebagai kurir kantor pos sebenarnya juga membuatku was-was, mau sampai kapan aku bekerja seperti ini, “Mau sampai kapan kamu jadi kurir? Gajimu berapa? Kamu nggak nikah? Kalaupun nikah anak istrimu mau makan apa?” pertanyaan dari seorang teman tempo hari membuatku merenung. Sepertinya aku memang harus mulai mencari pekerjaan lainnya. Kukeluarkan sepeda tuaku, sepeda yang setia menemani setiap hari ini mulai nampak lelah, berjalan kesana kemari.

“Jiangkrik, mobil siapa toh ini” Aku mengumpat sendiri, ada sebuah mobil box terparkir sekenanya tepat di depan pagar. “Ini sudah tahun berapa, parkir mobil saja tidak bisa, kalau tidak bisa parkir mbok ya jangan par….”

BRUGH!!!

Pandanganku seketika gelap.

***

“CEPAT JAWAB DIMANA KAU SIMPAN KARTU POS ITU??!!”

Orang gila itu masih berteriak-teriak sementara kepalaku sudah pusing tak keruan. Kugerakkan mulutku sedikit demi sedikit, “Kartu pos itu sudah berada di tangan yang tepat, kau tidak akan bisa menemukannya meski membunuhku” ucapku sinis. Kira-kira sudah tiga jam lebih mereka menyiksaku. Sepertinya mereka sudah mulai putus asa.

“SETAN!!”

BRUAKK!!!

Tubuhku ditendangnya kuat-kuat, dadaku sesak, kini aku jatuh tertidur miring dengan tangan dan kaki masih terikat di kursi. Keparat, pikirku. Aku meringis kesakitan lalu tertawa geli mengingat bahwa aku sedang bertaruh nyawa membela seseorang yang tidak kukenal, bahkan aku tak mendapat apapun darinya. Dia seorang yang baik, pejuang dari masa lalu yang layak mendapat sedikit imbalan untuk hidupnya.

Kartu pos itu berisi kode untuk membuka sebuah brankas yang tersimpan di sebuah bank. Keparat-keparat ini menginginkannya, mengincar sejak lama kode itu untuk mengambil uang tersebut, salah seorang pemimpinnya adalah mafia gila yang merupakan anak dari pak Kusnandar, mantan tentara yang belakangan diketahui telah tewas di tangan anaknya sendiri.  Anak durhaka, pikirku. Ia menginginkan uangnya untuk membiayai bisnis kotornya, juga menyuap pemerintah kota untuk menutupi ladang uang busuknya.

Sekarang, aku sudah tak peduli lagi, peluru sudah siap menembus kepalaku. Ujung besi itu sudah menempel di keningku.

“Kuberi satu kesempatan lagi anak muda, katakan saja dima…”

“ANJING” tukasku sinis.

 Paling tidak aku sudah melakukan satu hal yang benar. Lagipula aku sudah menceritakan ini pada kalian. Terserah, percaya atau tidak. Satu hal yang harus kalian tahu, bahwa kalian tidak pernah tahu kapan, bagaimana, dengan siapa kalian mati, paling tidak sebelum itu terjadi, sekelam apapun kehidupan kalian, setidaknya lakukan satu hal yang benar sebelum…

“SUDAH! HABISI SI BANGSAT ITU!! DIA SUDAH TIDAK ADA GUNANYA!”

…terlambat.

DORR!!


***

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak