Kami baru saja memulai Kamisan kembali dan sudah dihadapkan pada tema yang cukup membuat frustasi *halah* *banget*
Pernikahan adalah tema yang dilempar Olih untuk Kamisan perdana edisi 2 ini *unyel-unyel Olih*
Entahlah. Aku nggak tahu mau menulis apa. Lalu aku teringat pernah membicarakan tentang pernikahan dengan seseorang.
Entahlah. Aku nggak tahu mau menulis apa. Lalu aku teringat pernah membicarakan tentang pernikahan dengan seseorang.
“Ceritakan padaku, bagaimana Eru dengan pacarnya dulu”
Saat mengirimkan pesan itu kepada Kak Ben, aku tidak memikirkannya
dua kali. Ketika pertanyaan itu melintas di otakku karna sikap Eru yang
sudah melewati batas wajar masa berkabung patah hati-nya tak juga reda.
Itu membuatku kesal setengah frustasi.
Pesan balasan dari kak Ben datang keesokan harinya.
Cinta mati.
Hanya sesingkat itu jawaban kak Ben. Well, aku paham. Kak
Ben adalah teman baik Eru. Ia tahu pasti bagaimana kisah Eru dan… Dan..
Ah! Haruskah aku melafalkan namanya? Mengertikah kau perasaan sedih yang
menggayut di nama perempuan masa lalu Eru itu sementara Eru tak pernah
menjadikannya masa lalu?
“Kautahu,” kataku, “seseorang harus berusaha keras untuk masuk ke
hatimu. Melihat sikapmu yang dingin, sudah pasti mereka akan berbalik
arah meski baru di langkah pertama!”
Dan Eru terlalu keras kepala dengan alasan-alasan konyolnya untuk tidak mau berdekatan dengan perempuan manapun.
Saat ini.
Ada sebuah artikel yang pernah kubaca, tertulis di sana bahwasannya
lelaki adalah makhluk yang lebih perasa dari perempuan menyoal perasaan.
Para pria nyatanya membutuhkan waktu paling lama untuk move on. Tidak diragukan lagi Eru adalah contoh nyata.
“Sudah, nggak usah dipikirin. Menurut pepatah di sini, duka
karna patah hati hanya boleh bertahan selama 1 bulan 17 hari. Lebih dari
itu kamu cuma buang-buang energi” Nasihatnya dulu ketika aku putus. Aku
menertawakannya sekarang, kaumengabaikan nasihat leluhurmu, kataku.
Bilang saja aku beruntung sebab, mungkin, aku satu-satunya perempuan
asing di hidupnya yang tidak terkena sikap dinginnya itu. Pada masa awal
kami berkenalan, aku bahkan membangkitkan lagi kreatifitasnya untuk
bermusik, menulis puisi bahkan ia mulai mencoba-coba merekam suaranya
dalam membaca puisi.
Eru bercerita banyak padaku tentang potongan-potongan kisah cintanya.
Bagaimana ia menjadikan perempuan itu satu-satunya, ketika banyak
perempuan mengincar vokalis band kampus sepertinya. Eru bergeming, ia
memantapkan hati untuk gadis ini.
Tak tahu bagaimana pasti ceritanya, Eru juga tak berniat
menceritakannya padaku. Suasana hatinya akan buruk kalau aku
menyinggung-nyinggung soal itu. Saat perempuan itu memutuskan pergi, tak
tanggung-tanggung, Eru memohon padanya untuk tetap tinggal.
“Aku menyakini ia adalah satu-satunya. Bahwa pada akhirnya perempuan
inilah yang akan aku nikahi tetapi entah, Kiara, dia memilih pergi.”
Aku diam, aku tahu bagaimana rasanya ditinggalkan.
“Bukan salahmu,” kataku, “Kalau kaumenikah, kirimi aku undangannya. Aku mau datang.”
“Aku tidak akan menikah. Tidak mau. Aku nggak mau memulai drama baru.”
Keras kepala!
——–
Sebuah ingatan yang lain,
Di suatu sore, aku bersandar di pelukannya,
“Bacakan cerita untukku,” kataku
“Buat apa?,” katanya, “kamu kan sudah besar. Dongeng mah untuk anak-anak. Nanti saja kudongengi anakmu.”
“Anakku?”
“Ya, anakmu denganku atau anakmu dengan pria manapun. Nanti kudongengi juga. Asalkan itu anakmu.”
“Memangnya kauakan diizinkan mendongengi anak orang lain?”
Lalu kami tertawa. “Iya juga ya,” katanya. “memangnya suamimu bakal ngizinin?” katanya lagi dan mencium wajah sebelah kananku.
“Bacakan cerita untukku,” kataku
“Buat apa?,” katanya, “kamu kan sudah besar. Dongeng mah untuk anak-anak. Nanti saja kudongengi anakmu.”
“Anakku?”
“Ya, anakmu denganku atau anakmu dengan pria manapun. Nanti kudongengi juga. Asalkan itu anakmu.”
“Memangnya kauakan diizinkan mendongengi anak orang lain?”
Lalu kami tertawa. “Iya juga ya,” katanya. “memangnya suamimu bakal ngizinin?” katanya lagi dan mencium wajah sebelah kananku.
——–
10:19
16/05/2014
Aria.
0 comments