Jakarta. Kota megapolitan negara dunia
ketiga yang seakan tidak pernah beristirahat. Aku mengecek jam dan
menghela nafas. Nyaris jam 12 malam dan jalan tol lingkar dalam Jakarta
ini masih saja macet. Padahal aku sengaja mengambil jadwal penerbangan
malam dari Surabaya karena berharap bisa cepat sampai rumah. Karena aku
sudah tidak tahan lagi untuk tinggal di Malang lebih lama.
Padahal dia menunggu kamu, Dji..
Aku memandangi lampu-lampu jalanan sebelum pada akhirnya mencoba memejamkan mata. Mencoba menghapus kata-kata Mbak Dina tadi siang. Percuma. Kata-kata itu menusuk tajam ke dalam relung pikiranku. Membuatku tidak bisa menikmati hidangan pernikahan yang disediakan. Membuatku tertawa hambar ketika teman-temanku sesekali bernostalgia. Membuatku tersenyum kecut ketika bersalaman dengan Dian dan mengucapkan selamat kepada Adit. Aku hanya bisa berharap semoga mereka tidak menyadarinya.
Andai aku tidak sepengecut ini, batinku.
“Mas, mau keluar di pintu tol Rawamangun
aja? Ini kayaknya macet di Cawang deh.”, ujar Pak Ahmad. Supir taksi
yang sedang aku naiki sekarang. Memaksaku menarik diri untuk kembali
kepada kenyataan.
“Iya Pak. Kayaknya mending keluar di Rawamangun terus lewat Cipinang aja.”.
Pak Ahmad mengangguk pertanda mengerti.
Tidak lama kemudian taksi yang aku naiki membelok perlahan, berusaha
mengambil jalur sebelah kiri karena jalan keluar tol sudah terlihat di
depan. Aku beruntung Pak Ahmad menjadi supir dari taksi yang sedang aku
naiki saat ini. Beliau ternyata hapal jalan menuju rumahku. Jadi aku
tidak perlu sedikit-sedikit memberikan arahan kepada beliau.
“Kembaliannya ambil aja, Pak.
Hitung-hitung buat tambahan bapak karena narik sampai selarut ini.”,
kataku kepada Pak Ahmad. Setelah mengucapkan terima kasih, Pak Ahmad
segera berlalu. Aku langsung bersiap untuk melompati pagar karena
selarut ini biasanya orang rumah sudah pada tidur. Sebenarnya aku punya
kunci duplikat rumah. Tapi konstruksi pagar rumahku terlalu ribet untuk
membuka gembok dari luar. Makanya aku lebih memilih untuk melompat.
Begitu sampai di dalam kamar, perhatianku
tertuju ke sebuah benda di atas meja kerja. Sebuah kartu pos. Tanpa
sadar aku tersenyum. Ada sebuah semangat yang perlahan bangkit. Setelah
berpikir sejenak, aku memutuskan untuk membacanya nanti setelah aku
selesai membereskan barang-barang yang aku bawa dan mandi.
Sembari membereskan barang-barang, aku mencoba mengingat awal dari berbalas kartu pos ini.
—————————————————
Andani Citra. Aku bertemu dengannya
ketika aku sedang menemani Dian rapat mingguan di ruang sekretariat BEM.
Aku tidak ikut rapat tentu saja. Mana boleh orang di luar kepengurusan
sepertiku ini ikut campur di dalam ruangan. Jadi ketika Dian rapat, aku
menunggu di kantin yang terletak di sebelah ruang sekretariat sambil
asik membaca sebuah buku puisi yang memang sengaja aku bawa. Saat itu
kantin sepi. Tidak heran karena saat itu jam menunjukkan pukul 7 malam.
Aku yang sedang menikmati kesendirian tiba-tiba terusik oleh kedatangan seorang wanita yang tanpa basa-basi langsung menegurku.
“Maaf mas, punya pulpen? Aku lupa bawa pulpen dan kios stationery udah tutup.”, katanya sambil berusaha menutupi rasa panik.
Aku tersenyum melihat dia berusaha
menutupi kegugupannya. Untungnya hari itu aku memang ada kelas dan aku
belum pulang ke kost. Jadi tanpa bicara apapun aku langsung mengambil
pulpen di dalam tas dan memberikan kepadanya.
“Dipinjem sebentar ya mas. Jangan pergi dulu.”, katanya buru-buru.
Dia berlalu setelah melihat aku
mengangguk. Setelah puas tersenyum karena melihat dia yang berlari-lari
kecil menuju ruang sekretariat BEM, aku kembali menenggelamkan diri ke
dalam buku yang ada di tanganku.
Setengah jam berlalu, dan aku masih asik
membaca. Entah sudah berapa batang rokok yang aku hisap untuk menemani
kopi yang aku pesan sejak awal aku ada di sini. Saat sedang asik
menikmati duniaku, tiba-tiba ada orang yang kembali mengusik. Kursi yang
ada di depanku ditarik menjauh. Saat aku mengangkat muka, aku melihat
wanita yang tadi meminjam pulpenku sedang melepaskan tas yang dibawanya
dan langsung duduk begitu saja.
“Ini mas pulpennya. Makasih ya.”, katanya sambil tersenyum.
“Iya mbak, sama-sama.”, kataku sambil memperhatikannya.
Ternyata dia wanita yang cantik. Bukan
kecantikan kota yang biasa aku dapatkan di Jakarta. Melainkan kecantikan
khas pedesaan kampung halaman. Kecantikan yang sederhana. Tubuhnya
ternyata tidak terlalu tinggi. Mungkin sebahuku yang mempunyai tinggi
170an. Kurus tapi tidak kerempeng seperti hanya tulang yang terbalut
oleh kulit. Dan ketika aku melihat ke dalam matanya, terlihat jelas
kalau di dalam tubuh yang kurus itu tersimpan semangat yang
menggebu-gebu.
Aku mengambil pembatas buku yang aku
letakkan di atas meja dan menutup buku. Tidak sopan kalau aku membaca
buku sendiri padahal aku sedang bersama seseorang.
“Suka baca puisi juga mas?”, katanya ketika melihat sampul depan dari buku yang aku bawa.
“Tergantung mood aja. Kebetulan sekarang
moodnya lagi asik buat baca buku semacam ini. Dan emang lagi butuh
karena anak teater mau buat pementasan puisi bulan depan.”.
“Oh gitu. Padahal kalo suka baca puisi
aku punya banyak loh di kost. Kebetulan aku juga suka sama Sapardi. Oh
iya kita belum kenalan ya? Kenalin, namaku Andani Citra. Panggil Citra
aja. Andani agak susah diucapkan soalnya kalo belum terbiasa.”, katanya
sambil nyengir.
“Adji. Adji Nugroho. Pake huruf ‘D’
sebenarnya. Tapi kalo susah ngomongnya, huruf ‘D’-nya diilangin juga ga
masalah.”, kataku sambil membalas cengirannya.
“Ada urusan apa tadi ke sekretariat BEM? Pendaftaran baru ya?”.
“Bukan daftar, tapi seleksi tahap kedua.
Sebenarnya seleksinya seminggu yang lalu. Tapi waktu itu aku lagi pulang
ke Bandung gara-gara kakek sakit. Berhubung seleksi tahap pertamanya
memuaskan, jadi aku dikasih dispensasi. Eh malah make lupa bawa pulpen
lagi tadi. Untung ga telat.”.
“Oh pantes tadi agak panik gitu. Harusnya kalo ada event penting kayak gini disiapin dari kemarin kan?”.
“Iya sebenernya udah siap-siap dari tadi malem. Tapi aku lupa kalau tadi pagi aku ngeluarin pulpen karena harus nulis surat.”.
“Sebentar. Ngeluarin pulpen buat nulis
surat itu maksudnya kamu nulis surat manual make tangan? Jaman sekarang
ini?”, aku terheran-heran.
“Iya. Kenapa? Kaget ya? Asik loh padahal.
Aku ga tau ya kalau orang lain. Tapi aku bisa ngebaca emosi dari
tulisan tangan seseorang waktu aku sama dia berkirim surat. Aku jadi
bisa tahu dia antusias apa ga. Aku juga jadi bisa tahu dia lagi ada
masalah apa ga. Kalo lewat media elektronik kan itu semua ga kelihatan
jelas. Lah kan tulisannya datar kaku begitu.”
“Mm.. Bener juga sih katamu. Tapi tetep
aja aku heran ada yang kayak gitu. Aku yang nulis buat nyatet pelajaran
aja pegel, apalagi nulis surat.”, kataku sambil tertawa.
Aku melanjutkan obrolan ke hal-hal ga
penting lainnya. Tapi tidak lama karena ternyata rapat BEM tidak selama
biasanya. Jadi setelah Dian keluar dari sekretariat BEM aku bepamitan.
Setelah itu, aku beberapa kali bertemu
dengannya di lorong koridor kampus. Sekedar saling menyapa atau sambil
ngobrol-ngobrol. Bahkan terkadang kami makan siang bersama. Saat teater
koin mengadakan pementasan puisi, aku mengundangnya karena aku tahu dia
senang datang ke acara-acara pembacaan puisi.
Tapi hanya sebatas itu. Sampai aku lulus, kembali ke Jakarta, dan terpaksa harus kehilangan komunikasi dengannya.
Dua bulan yang lalu tiba-tiba dia
mengirimkan sebuah message ke inbox facebook meminta alamat lengkap.
Karena aku mengenalnya, aku memberikan alamatku sambil bertanya ada apa.
Dan dengan singkatnya dia membalas, “Tunggu aja. ;)”.
Beberapa hari kemudian ada selembar kartu
pos yang dialamatkan kepadaku. Sebuah kartu pos sederhana yang berisi
perangko, alamat penerima, alamat pengirim, dan beberapa baris tulisan.
Secara reflek aku mencari siapa orang yang iseng mengirim kartu pos di
jaman sekarang ini. Dan aku tersenyum saat mendapati namanya, Andani
Citra, ada di sana.
Halo pria penikmat puisi, apa kabar?
Lama sekali rasanya kita tidak berbincang ya? Kamu ingat waktu pertama kali kita bertemu di ruang sekretariat dulu? Waktu aku bilang kalau menulis surat dengan tangan itu menyenangkan? Mau mencoba berbalas kartu pos denganku?
Citra
Saat itu aku baru saja sampai di rumah
dengan energi yang terkuras karena memang aku sedang mengerjakan sebuah
proyek besar dan hanya diberikan waktu selama 6 bulan. Proyek itu
memaksaku untuk bekerja lembur setiap hari menjalani rapat-rapat panjang
tak berperikepegawaian.
Tapi hari itu, malam itu, ketika aku
sampai di rumah dan membaca tulisan di balik kartu pos polos itu, ada
sebuah energi yang sanggup memaksaku untuk kembali tersenyum. Satu hal
yang sangat jarang aku lakukan dalam beberapa bulan ini karena tekanan
pekerjaan yang begitu beratnya.
Dan mulai saat itu, aku mempunyai satu
rutinitas baru yang aku jalani dengan sepenuh hati. Menerima dan
membalas kartu pos yang datang dari Citra.
————————————–
Aku tersenyum kecil saat mengingat itu
semua. Tidak terasa sudah 8 minggu ini aku rutin berbalas kartu pos
dengannya. 8 minggu itu berarti aku menerima 8 kartu pos dan mengirimkan
8 kartu pos. Kami berdua sepakat tentang, jangan sampai rutinitas ini
mengganggu kesibukan-kesibukan kita yang lain. Oleh karena itu kami
hanya mengirimkan kartu pos satu kali dalam seminggu.
Selesai mandi dan menjemur handuk, aku mengambil kartu pos yang memang belum aku sentuh dari tadi dan mulai membaca.
Hai, pemilik rindu yang masih aku sembunyikan.
Tidak akan mungkin ada seujung kukupun di dunia ini yang tidak berguna. Kau bilang untuk apa berjuang? Kamu ingin kita atau aku dan kamu?
Jangan hanya menunggu sampai ada yang memukul kepalamu dengan kerasnya lalu tersadar: menyesal tanpa mencoba atau terus berusaha.
Kamu keras. Batu. Kelak akan bisa berlubang dengan peluh dari matamu sendiri. Mungkin dengan begitulah kamu baru berlari. Mengejar yang jauh.
Tetaplah menjadi matahari yang hangatnya mampu menerangi dan menguapkan embun pagi.
Citra
Aku tertegun. Mencoba mengingat apa yang
terjadi selama aku di Malang. Setelah berpikir sejenak, aku menghidupkan
handphone yang memang aku biarkan mati sejak dari pernikahan Dian, dan
mengirimkan sebuah pesan pendek :
Selamat malam, kamu yang telah meninggikan harapanku. Maaf kalau pesan ini mengganggu istirahatmu. Sabtu malam minggu ini kamu ada acara? Kalau tidak ada acara dan kamu setuju, bagaimana kalau kita dinner?
Setelah menekan tombol send, aku tersenyum. Tenang.
Original source
0 comments