“Selamat, Pak Putu. Pameran tunggal Anda begitu menarik.” Aku
mendengar seseorang mengucapkan selamat kepada orang yang disapa Pak Putu
tersebut. Aku menoleh dan melihat bagaimana Bapak usia tengah baya tersebut
menerima ucapan selamat dengan ucapan terima kasih.
Putu Wijaya—bukan penulis terkenal asal negeri ini—adalah
seorang fotografer lokal Pulau Dewata yang telah malang melintang memamerkan
hasil bidikan kameranya di beberapa kesempatan. Aku tidak begitu mengenalnya.
Hanya sedikit mengetahui tentangnya dari media-media lokal serta sedikit
informasi dari mesin pencari Google.
Pameran tunggalnya ini kuketahui ketika aku membolak-balik
halaman surat kabar lokal pagi ini. Pameran yang bertema Urban Nusantara
menggugahku untuk datang. Foto-foto dari berbagai sudut kota di Indonesia
dipamerkan pada pameran kali ini.
Aku menyukai lukisan cahaya pada umumnya. Tapi, kalau boleh
dibilang, aku tidak punya fotografer khusus untuk kukagumi. Hari ini, aku
melangkahkan kaki ke pameran ini karena menemukan sesuatu—yang menurutku—lebih
menarik dari hariku. Melihat-lihat hal yang menarik mataku, merupakan upayaku
untuk mengusir rasa jemu yang mendera.
Kuperhatikan
sekitar. Aku tidak melihat Pak Putu lagi. Mungkin ia berada di sisi ruangan
lain yang tak tertangkap oleh indra penglihatanku. Menyapa beberapa pengunjung
yang dikenalnya, atau mungkin melayani permintaan beberapa pencari berita yang
ingin memuat profilnya dalam media mereka. Aku memerhatikan beberapa pengunjung.
Dua-tiga orang mematung cukup lama di hadapan sebuah foto. Seperti ingin
mematri gambar tersebut dalam-dalam. Satu-dua orang—unik menurutku—melihat foto
tersebut dari jarak sekitar lima senti, lalu mundur sekitar tiga puluh senti.
Sesekali mencoba memerhatikan dari sisi lateral foto tersebut, seolah gambar
tiga dimensi. Yang lainnya hanya sekilas lalu. Melewati foto demi foto dengan
langkah perlahan. Termasuk diriku. Aku membiarkan kakiku terus melangkah tanpa
memerhatikan terlalu lama setiap foto yang kulalui. Tapi pada satu foto,
langkahku terhenti. Bukan karena foto itu terlihat istimewa dari pencahayaan
atau sudut pengambilan gambarnya. Bukan juga karena objeknya yang terlihat
menarik buatku.
Aku melangkah
lebih dekat. Mengamati lebih rinci. Sebuah gerbang kenangan membuka lebar
untukku. Foto urban yang biasa kualami dalam fase hidupku dulu. Antrean panjang
yang harus kualami setiap berangkat ke kantor dan pulang ke rumah setiap hari.
Berbagi ruang dan aroma dalam bus dan kereta. Pergerakan yang selalu menggilas
mereka yang lamban dan malas. Ruang yang selalu menyambut mereka yang mau
bekerja giat. Dan dirimu. Dirimu pun hadir dalam gerbang kenangan itu.
Sebagaimana aku mulai merindukan kota kita, aku pun merindukanmu.
Yola M. Caecenary
Kamisan #12 Session 3 : Kotaku, Rinduku – Deadline : 2 Juli 2015
Foto tema tulisan
Sumber : Foto shared by Keke
0 comments