#04 Halusinasi Kirana

Kamisan S2 #04 - Halusinasi: Bianca

10.45Unknown

 Dunia ini membuat aku melayang, tidak bisa kujabarkan satu per satu, sekumpulan perasaan yang tidak tergambar. Aku merasa ruh ku tertidur, bahkan disaat aku bangun. Aku berada dibanyak tempat, kadang di saat bersamaan. Bunga tidur atau kekosongan pikiran? Halusinasi atau delusi. Semua berbatas garis tipis yang tidak terlihat. Tapi kau jelas tahu, semua berbatas, semua terbatas. Atau aku rasa ini hanya sekedar penghayatan batin? suatu perasaan yang tidak bisa aku tangkap, pecah lalu membuat aku melayang lagi. Begitu seterusnya. Kadang suatu pagi aku terbangun dengan perasaan yang menyenangkan. Begitu menenangkan, tersenyum dan mimpi membawaku terbang. Bayangan itu berubah ke segmen berbeda.

***

Pagi ini, aku terbangun dan menemukan orang-orang yang sudah lama ingin kutemui, nenek dan kakek. Kami berbincang banyak tentang hari-hari selama tidak saling melihat. Mereka menceritakan banyak hal menyenangkan, ada juga beberapa yang membuatku sedih. Seperti sakit-sakit renta yang hanya mereka hadapi berdua. Orangtuaku, di mana mereka? Kenapa tidak menjenguk nenek? Aku bertanya. Lalu nenek dan kakek menjawab, kata mereka orangtuaku sudah 2 tahun meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Bagaimana aku bisa tidak mengingatnya.

Aku melakukan banyak hal seharian bersama nenek dan kakek. Berkebun, memasak, memijat mereka. Mimpi itu datang saat aku menyisir rambut nenek dengan uban penuh di kepala, rambut itu perlahan menghitam, tubuhnya mengecil, kerut-kerut waktu pada wajahnya menghilang. semua terjadi perlahan, semua melayang, semua berputar.

"Ibu, sudah selesai mengepang rambutku? Ibu kenapa melamun lagi. Aku akan terlambat ke sekolah, bu"

"I..iya"

Aku kembali mengepang rambutnya. Putri kecilku, Bianca. Matanya lincah, bibir tipisnya tidak pernah diam, kulit putihnya kemerahan diterpa matahari pagi. Wajahnya mirip aku, sangat mirip. Aku bahkan merasa sedang menyisir rambutku sendiri, mengepang rambutku, dan bicara sendiri pada diriku. Bianca memang mirip aku. Selesai mengepang rambut Bianca, aku menyuapinya sarapan.

"Apa ibu nanti malam pergi lagi seperti biasa?"

"Iya, sayang. Tapi kau akan ditemani mbak Sulis"

"Iya, aku tahu. Setiap malam dia menemaniku sampai ibu pulang pagi bukan?"

"Kenapa Bianca bicara begini lagi, bukannya kau sudah berjanji tidak lagi mengatakan, menanyakan atau mempermasalahkan, masalah ini?"

Dia hanya diam menatapku, tapi setiap kata yang kuucapkan menghasilkan perih dalam hatiku sendiri. Bening hangat mulai memenuhi ruang-ruang kosong mata. Kesepian mencengkramku. Tubuhku kembali melayang. Kudapati diriku dengan seragam merah putih, Tuhan mimpi ini lagi? apa ini. Aku mencubit tanganku sendiri. Sakit. Ini bukan mimpi.

"Bianca!"

"Hai, Fen"

Dari mana aku mengetahui nama gadis itu, bagaimana bisa aku tidak asing dengan wajahnya.

"Sudah selesaikan pekerjaan rumahmu?"

"Belum"

"Lagi-lagi kau tidak mengerjakannya, kau mau dihukum lagi?"

"Aku benci dihukum"

"Kalau begitu salin punyaku sekarang"

"Aku tidak ingin mengerjakan apapun"

"Baiklah, biar aku yang mengerjakannya untukmu"

Senyumku mengembang, tidak terarah. Kadang aku merasakan kehilangan kewarasanku, tapi aku yakin sekali tidak. Tidak berapa lama aku mendapati semua PR ku terisi sempurna, aku mengucapkan terimakasih kepadanya. Bel masuk berbunyi. Kami memasuki kelas. Di sini ramai, tapi aku merasa anak-anak itu seperti tidak bernyawa, mereka bergerak hanya matanya tidak hidup, ke mana pun mereka menatap, ke mana pun mata mereka mengarah, mata itu tidak bergerak. Kuduk kubergidik, ngeri. Kulirik gadis yang tadi mengerjakan pekerjaan rumahku, tatapannya sama dengan yang lain. Aku merasa masuk ke dalam mimpi buruk, mimpi buruk yang berbatasan dengan mimpi-mimpi baik. Aku kembali melayang.

"Kau tak apa?"

"Y..ya. Aku baik-baik saja" jawabku tergagap.

"Bel masuk sudah berbunyi tapi kau masih di sini. Apa kau tidak ada jadwal mengajar?"

Petir itu kembali menyambarku. Aku semakin tidak mengerti kehidupan mana yang benar-benar aku jalani. Aku memandangi sebuah kubikel kecil penuh buku di hadapanku. Mengedarkan pandangan ke setiap sudut, lemari-lemari kaca penuh buku, kubikel-kubikel padat. Lalu kembali tertuju pada meja kerja yang sedang aku tempati. Mataku terfokus pada satu bundel ordner tebal bertuliskan RPP ESL 2004-2005.

"Apa kau tidak punya jadwal mengajar?"

"A..ada"

Aku segera bergegas, mengambil beberapa buku cetak. Berjalan terburu-buru. Menuju kelas yang isi nya murid-murid berseragam putih abu-abu. Aku menarik nafas panjang. Memasuki ruangan.

"Greetings!"

"Good afternoon, Miss Bianca"

"Good afternoon"

Waktu berjalan gamang. Terus berputar, setiap detiknya seperti membawaku berlari ke tempat yang tidak aku tahu, tapi aku tahu. Bisa bayangkan? Kau tidak tahu tapi kau tahu. Bisa bayangkan bagaimana? Semua bergejolak. Aku bergegas keluar setelah menyelesaikan tugas mengajarku. Aku harus pergi mencari apapun yang bisa memberitahuku. Gamang tubuhku kembali merasa melayang. Berputar-putar.

"Bianca, mau makan apa?"

"A..aku, apapun, bu"

"Kamu kenapa?"

"Nggak apa-apa, ayah"

"Dari tadi, kau seperti orang kebingungan"

Aku berada dalam kendaraan roda empat bersama dengan orangtuaku, ayah dan ibu. Kami sedang melakukan perjalanan menuju Bandung, tiga puluh menit sebelum kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan yang membunuh kedua orangtuaku. Aku sendiri. Kesepian. Ketakutan. Keluarga ibu dan ayah sepakat aku akan diasuh nenek dan kakek dari pihak ibu. Aku menghabiskan tahun-tahunku di sana. Membantu nenek sebagai pemeras susu sapi. Mengubur banyak mimpi.

Aku lega, tahun-tahun penuh mimpiku berakhir. Sampai satu pagi yang lain, semua mimpi itu mencuriku lagi. Aku berada di sebuah altar besar, deretan antrian panjang manusia melewati dan menyalamiku. Pernikahan.

"Aku mencintaimu" bisik pria itu pelan.

"Kau siapa?"

"Hahaha, kau bercanda seperti ini lagi sayang dan ini tidak lucu"

"M..maaf sayang"

***

Suatu sore, Klinik Psikosomatik

"Hari ini bagaimana kondisinya, ada perkembangan?"

"Dia belum sadar dari kondisi katatoniknya, masih sangat labil. Dia selalu membuat sistem proteksi baru dan melawannya sendiri, mempertanyakannya sendiri. Kebingungan di dalam tubuhnya"

"Aku harap nenekku bisa pulih"

Bianca mengelus kepala wanita tua dengan uban penuh di kepala, gurat-gurat keriput waktu menggaris wajahnya, rasanya seperti mengelus kepalanya sendiri.

Mimpi itu masih kembali, tidak pergi. Halusinasi panjang.

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak