Waktu sudah menunujukan pukul empat dini hari. Sudah hampir empat jam
Kirei menunggunya menyelesaikan semadinya di sebuah ruang kosong di
loteng asrama. Loteng berlantai kayu itu tadinya adalah sebuah ruang
penyimpanan peralatan olah raga. Tetapi sekarang menjadi tempat Agastya
menikmati kesendiriannya, kecuali jika Kirei ada bersamanya. Agastya
akan menghabiskan tengah malamnya untuk berdiam diri bersemedi,
sedangkan Kirei akan duduk di dekat tangga dan ditemani cahaya lampu
sambil menyelesaikan sketsa yang dibuatnya.
“Kamu tidak perlu menungguku.” Ujar Agastya saat ia mulai bergeming.
“Aku penasaran, kau belum menyelesaikan ceritamu kemarin.”
“Soal ayahku?” tanya Agastya sambil beranjak menuju Kirei.
“Ya.” Jawab Kirei singkat.
“Apa yang kamu ingin ketahui?” tanya Agastya sembari mengatur posisi duduknya di samping Kirei.
“Kenapa kau tidak menanyakan soal ayahmu ke ibumu?”
“Aku sudah berkali-kali menanyakan kepada ibu tapi dia selalu
mengalihkan pertanyaanku menjadi ajakan makan es krim atau jalan-jalan
ke pantai.”
“Lalu?” tanya Kirei penasaran.
“Lalu sekitar setahun yang lalu, aku mulai mendengar suara-suara di
kepalaku yang memanggil-manggil namaku. Awalnya aku takut. Aku selalu
pergi ke tempat ramai setiap aku mendengar suara itu. Tapi semakin ramai
tempat yang aku kunjungi, semakin keras suara itu terdengar di dalam
kepalaku.”
“Teruskan, aku ingin tahu kelanjutannya.” Desak Kirei.
“Akhirnya aku mengunci diriku selama berhari-hari di dalam kamarku
sendirian. Tapi justru saat aku menyendiri suara-suara itu perlahan
menjadi sangat lembut. Hingga akhirnya aku belajar berdiam diri dan
memusatkan konsentrasiku barulah aku tahu bahwa suara itu adalah suara
ayahku.” Agastya merebahkan dirinya di lantai kayu.
“Kau bisa mendengar suara ayahmu?” tanya Kirei.
“Ya, sejak saat itu aku bisa mendengar suara ayah. Saat aku bersemedi
seperti tadi, aku bisa mendengar suara ayah, bahkan bertemu dengannya
dan meskipun ragaku diam tidak bergerak, ayah bisa mengajak rohku pergi
ke tempat-tempat yang jauh. Ayahku seorang petapa. Dia mampu membawaku
berkelana ke masa lalu.”
“Kau tidak takut? Maksudku, apakah kau yakin dia benar-benar ayahmu?” Kirei menunggu jawaban Agastya dengan tidak sabar.
“Kenapa aku harus takut. Dia memang ayahku. Saat aku baru mengetahui
tentang ayah, aku bertanya kepada ayah, kenapa ibu tidak pernah mau
menjawab pertanyaan-pertanyaanku perihal dirinya. Ayah lalu mengajak
rohku berjalan-jalan dan menceritakan tentang perpisahan mereka. Roh
kami berdua lalu melihat ibu sedang menatap foto ayah sambil menangis.
Ayah berkata bahwa dia telah menyebabkan begitu banyak airmata dalam
kehidupan ibu dan aku tidak boleh menambah penderitaannya dengan
menanyakan hal-hal yang mengingatkannya akan ayah.”
“Lalu, apa saja yang kau dan ayahmu bicarakan ketika roh kalian bertemu?” tanya Kirei masih penasaran.
“Macam-macam. Kami membicarakan tentang kau juga.” Jawab Agastya singkat dan membuat Kirei terperangah.
“Aku?” tanya Kirei setengah terkejut. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Kirei.
“Aku menceritakan ayah tentang dirimu dan dia bilang kau bisa jadi teman yang baik.”
“Ya ampun Agastya, kita memang baru kenal sejak kau masuk asrama ini,
kira-kira dua minggu, tapi aku memang teman yang baik. Soal itu kau tak
perlu meragukanku.” Seru Kirei riang.
“Ayah juga memberi tahu soal kecelakaanmu.” Ucapan Agastya barusan membuat Kirei kaget dan tak bisa berkata-kata.
“Bagaimana asrama ini dulu pernah terbakar dan kau terjebak di loteng
ini sedang melakukan hobimu membuat sketsa, ketika kau sadar sedang
terjadi kebakaran, sudah terlambat bagimu untuk melarikan diri. Ayah
bilang salah satu kelebihanku adalah aku bisa melihat apa yang tidak
terlihat oleh orang lain. Itulah sebabnya aku tidak pernah melihatmu
berkeliaran saat jam sekolah, atau aku juga tidak pernah melihat orang
lain berinteraksi denganmu. Tapi, aku percaya ayah, kau bisa jadi teman
yang baik. Kau maukan jadi temanku?”
Kirei hanya tersenyum.
0 comments