#10 Semadi Minggu 10

Kamisan S2 #10 - Semadi: Kirei

14.00Unknown

Waktu sudah menunujukan pukul empat dini hari. Sudah hampir empat jam Kirei menunggunya menyelesaikan semadinya di sebuah ruang kosong di loteng asrama. Loteng berlantai kayu itu tadinya adalah sebuah ruang penyimpanan peralatan olah raga. Tetapi sekarang menjadi tempat Agastya menikmati kesendiriannya, kecuali jika Kirei ada bersamanya. Agastya akan menghabiskan tengah malamnya untuk berdiam diri bersemedi, sedangkan Kirei akan duduk di dekat tangga dan ditemani cahaya lampu sambil menyelesaikan sketsa yang dibuatnya.

“Kamu tidak perlu menungguku.” Ujar Agastya saat ia mulai bergeming.
“Aku penasaran, kau belum menyelesaikan ceritamu kemarin.”
“Soal ayahku?” tanya Agastya sambil beranjak menuju Kirei.
“Ya.” Jawab Kirei singkat.
“Apa yang kamu ingin ketahui?” tanya Agastya sembari mengatur posisi duduknya di samping Kirei.
“Kenapa kau tidak menanyakan soal ayahmu ke ibumu?”
“Aku sudah berkali-kali menanyakan kepada ibu tapi dia selalu mengalihkan pertanyaanku menjadi ajakan makan es krim atau jalan-jalan ke pantai.”
“Lalu?” tanya Kirei penasaran.
“Lalu sekitar setahun yang lalu, aku mulai mendengar suara-suara di kepalaku yang memanggil-manggil namaku. Awalnya aku takut. Aku selalu pergi ke tempat ramai setiap aku mendengar suara itu. Tapi semakin ramai tempat yang aku kunjungi, semakin keras suara itu terdengar di dalam kepalaku.”
“Teruskan, aku ingin tahu kelanjutannya.” Desak Kirei.
“Akhirnya aku mengunci diriku selama berhari-hari di dalam kamarku sendirian. Tapi justru saat aku menyendiri suara-suara itu perlahan menjadi sangat lembut. Hingga akhirnya aku belajar berdiam diri dan memusatkan konsentrasiku barulah aku tahu bahwa suara itu adalah suara ayahku.” Agastya merebahkan dirinya di lantai kayu.

“Kau bisa mendengar suara ayahmu?” tanya Kirei.
“Ya, sejak saat itu aku bisa mendengar suara ayah. Saat aku bersemedi seperti tadi, aku bisa mendengar suara ayah, bahkan bertemu dengannya dan meskipun ragaku diam tidak bergerak, ayah bisa mengajak rohku pergi ke tempat-tempat yang jauh. Ayahku seorang petapa. Dia mampu membawaku berkelana ke masa lalu.”
“Kau tidak takut? Maksudku, apakah kau yakin dia benar-benar ayahmu?” Kirei menunggu jawaban Agastya dengan tidak sabar.
“Kenapa aku harus takut. Dia memang ayahku. Saat aku baru mengetahui tentang ayah, aku bertanya kepada ayah, kenapa ibu tidak pernah mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku perihal dirinya. Ayah lalu mengajak rohku berjalan-jalan dan menceritakan tentang perpisahan mereka. Roh kami berdua lalu melihat ibu sedang menatap foto ayah sambil menangis. Ayah berkata bahwa dia telah menyebabkan begitu banyak airmata dalam kehidupan ibu dan aku tidak boleh menambah penderitaannya dengan menanyakan hal-hal yang mengingatkannya akan ayah.”
“Lalu, apa saja yang kau dan ayahmu bicarakan ketika roh kalian bertemu?” tanya Kirei masih penasaran.
“Macam-macam. Kami membicarakan tentang kau juga.” Jawab Agastya singkat dan membuat Kirei terperangah.
“Aku?” tanya Kirei setengah terkejut. “Apa yang kalian bicarakan?” tanya Kirei.
“Aku menceritakan ayah tentang dirimu dan dia bilang kau bisa jadi teman yang baik.”
“Ya ampun Agastya, kita memang baru kenal sejak kau masuk asrama ini, kira-kira dua minggu, tapi aku memang teman yang baik. Soal itu kau tak perlu meragukanku.” Seru Kirei riang.
“Ayah juga memberi tahu soal kecelakaanmu.” Ucapan Agastya barusan membuat Kirei kaget dan tak bisa berkata-kata.

“Bagaimana asrama ini dulu pernah terbakar dan kau terjebak di loteng ini sedang melakukan hobimu membuat sketsa, ketika kau sadar sedang terjadi kebakaran, sudah terlambat bagimu untuk melarikan diri. Ayah bilang salah satu kelebihanku adalah aku bisa melihat apa yang tidak terlihat oleh orang lain. Itulah sebabnya aku tidak pernah melihatmu berkeliaran saat jam sekolah, atau aku juga tidak pernah melihat orang lain berinteraksi denganmu. Tapi, aku percaya ayah, kau bisa jadi teman yang baik. Kau maukan jadi temanku?”

Kirei hanya tersenyum.

You Might Also Like

0 comments

Entri Populer

Formulir Kontak